Kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah.
Anjuran tersebut disampaikan oleh Presiden Joko Widodo di pertengahan Maret 2020 guna mensikapi Pandemic Covid-19 yang masuk ke Indonesia dan telah menyerang hampir di seluruh kota di dunia.
Pengumuman terkait kerja dari rumah telah disampaikan oleh HRD kepada karyawan-karyawan mereka. Tentu saja disambut riang gembira. Bisa terbebas dari rutinitas berangkat pagi pulang petang adalah hal menyenangkan. Tak heran, jika di awal hal tersebut dikumandangkan, alih-alih kebingungan bagaimana cara kerja jarak jauh, justru konten-konten piknik yang diunggah di social media. Hal tersebut tentu saja langsung mendapat perhatian ekstra dari warganet, “Kerja dari rumah, bukan piknik”, “Di rumah saja, bukan piknik saja,” kira-kira seputar itulah komentar-komentar yang dilontarkan.
Tapi…
Apa boleh bikin, namanya juga suasana baru. Wajar jika masih gagap dan bingung menyesuaikan keadaan. Merasa cuti panjang hingga terpikir untuk piknik itu baru reaksi awal, akan ada reaksi kebingungan lainnya ketika sudah mulai masuk kerja yang sesungguhnya, ketika Atasan minta laporan, ketika meeting koordinasi kudu dijadwalkan, dan bahkan koordinasi lintas jarak tersebut adalah masalah tersendiri buat mereka. Dan benar saja, setelah semua sadar bahwa yang diminta adalah kerja dari rumah, maka mulai muncul gejolak-gejolak kecil yang dikeluhkan melalui linimasa masing-masing. Mulai dari gangguan anak, baju dan dandanan yang tidak layak untuk video call bareng rekan kerja, suasana kerja yang riuh antara orang ngobrol, jeritan anak, deru kendaraan, waktu kerja yang tiada henti, dan entahlah apalagi. Terlalu banyak yang dikeluhkan saat pertama kali anjuran Kerja Dari Rumah dikumandangkan. Mulai dari urusan domestik hingga urusan koordinasi yang terkendala koneksi.
Kerja dari rumah.
Orang biasa menyebutnya dengan Work From Home atau secara singkat biasa pula disebut dengan WFH. Bagi pekerja lepas waktu (freelancer), anjuran tersebut secara umum tidak mengubah ritme kerja mereka, karena kesehariannya memang kerja di rumah. Pengalaman saya pribadi, yang telah menekuni kerja di rumah sejak 2016 sebagai Konsultan Social Media Marketing di beberapa brand, di minggu pertama ketika semua Tim (yang semuanya adalah orang kantoran) mulai WFH, saya merasa jadi makin sibuk. Tiap hari agenda meeting bisa lebih dari satu kali. Belum lagi Whatsapp Grup kantor yang biasanya sepi jadi rame, berbunyi tiada henti. Telepon berdering bertanya ini itu yang sebenarnya sudah dibahas di meeting online maupun di grup. Padahal jika dicermati, bobot pekerjaannya tidak bertambah. Masih sama, persis plek, dengan sebelum era Kerja Dari Rumah tersebut.
Lantas, apa yang membuat orang-orang ini jadi terlihat sangat sibuk ya? Kan hanya pindah lokasi kerja saja, dari yang awalnya duduk manis di kantor, sekarang duduk manis di rumah. Gitu kan?
Enggak sih…. enggak gitu juga…
Saya ceritakan satu kisah.
Tahun 2008, ketika saya bekerja di bidang digital marketing, saya mulai dikenalkan dengan karyawan lepas waktu yang melengkapi satu atau dua jenis pekerjaan di kantor. Iya, saya pekerja kantoran waktu itu. Di awal kenal dan kerja bareng dengan freelancer, saya sempat senewen juga.
“Ini orang kemana sih? Dikontak nggak respon. Mana penting lagi.”
“Tolong dong, email dibalas.”
“Ketemuan dulu lah. Enak ngobrol langsung.”
Dan hal-hal panik lainnya yang bikin energi saya terkuras akibat kerja tidak tatap muka langsung seperti ini. Lambat-laun, saya mulai belajar menyesuaikan ritme kerja mereka yang kerja di rumah dan saya yang kerja di kantor. Aman. Saya menjalaninya hingga bertahun-tahun kemudian, tak ada kendala yang berarti dalam urusan koordinasi kerja. Tahun 2016, saya memutuskan untuk kerja di rumah, karena saat itu pas kebetulan ada kesempatan untuk bisa melakukan hal tersebut. Bosan juga ya ngantor, sementara jenis pekerjaan saya sebenarnya bisa dikerjakan di mana saja sepanjang ada koneksi internet. Hal baru lagi saya mulai di sini.
Berkoneksi dengan mereka yang kerja di rumah sementara kita kerja di kantor vs kita yang kerja di rumah, ternyata sangat berbeda. Ada faktor psikologis yang melatar-belakangi kenapa saya yang sudah terbiasa kerja bareng dengan freelancer pun tetap gagap ketika kemudian harus jadi seorang pekerja di rumah.
“Rumah itu buat nyantai, bukan buat kerja” adalah persepsi pembentuk mental yang menjadi penghalang bagi orang yang baru pertama kali Kerja Di Rumah. Bawaannya pengen nyantai melulu. Lihat streaming film lah, yang tahu-tahu sudah jam 3 sore, padahal kayaknya baru saja jam 8 pagi. Atau yang hobi masak seperti saya, jika lagi malas nonton serial di TV berbayar, malah sibuk mencoba resep-resep baru. Pokoknya ada saja hal-hal yang mengalihkan perhatian dari pekerjaan kantor. Padahal ketika kerja di kantor, saya ya tetap bisa menikmati serial ataupun film di TV berbayar dan juga tetap bisa menyalurkan hobi masak. Kok sekarang malah jadi caur gini ya? Kerjaan tak tersentuh sama sekali, baru dikerjakan pas deadline sudah tinggal beberapa jam lagi. Kemudian jadi stress sendiri, senewen, dikejar-kejar pekerjaan akibat ketidakmampuan kita mengelola waktu.
Ah iya…. masalahnya ada di cara mengelola waktu, dan tentu saja tentang persepsi bahwa rumah adalah tempat istirahat kudu mulai diubah bahwa rumah juga kantor, tempatku bekerja dan berkarya. Maka saya mulai melakukan perubahan. Saya paham bahwa ini hanya soal kebiasaan semata, harus diubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru, dan mulailah saya menyusun kegiatan baru ini. Berikut beberapa tips bagi pemula yang harus menyesuasikan kondisi New Normal tersebut:
- Kelola Waktu. Saya membaginya sebagai berikut:
- Pagi hari adalah waktunya untuk diri dan keluarga (5.00-8.00).
Pada kisaran jam ini, kegiatan yang saya lakukan murni untuk kepentingan diri sendiri termasuk di dalamnya bercengkerama dengan keluarga seperti, membaca buku atau menonton TV, berolahraga ringan, menikmati kebun, bercakap-cakap dengan tetangga. Pokoknya hal-hal yang sifatnya pribadi dan tidak ada unsur kerjanya sama sekali. Selepas itu, baru mandi, persiapan untuk mulai buka laptop.
- 09.00-17.00
Mengingat saya kerja di rumah, maka sembari buka laptop, sekaligus bisa sambil sarapan. Di awal biasanya saya ngecek semua perangkat kerja saja untuk memastikan apakah semua dalam kondisi baik-baik saja atau ada kendala-kendala baru yang belum sempat saya cek semalam. Lantas melihat apakah ada permintaan-permintaan baru yang harus segera diselesaikan atau masih bisa menunggu waktu. Jika semua telah selesai dicek dan tidak ada hal-hal yang perlu dikhawatirkan, maka saya bisa mulai sarapan dengan tenang, bisa disambi baca buku, atau cek informasi/berita di social media. Jika ada hal penting yang segera ditindaklanjuti, maka saya akan kerjakan segera sembari sarapan. Tak masalah tho? Di rumah sendiri ini, karena jika tidak disambi sarapan, berdasarkan pengalaman, malah langsung bablas kerja hingga jam makan siang tiba. Kok tidak sarapan dulu baru cek kerja? Jam 9 pagi adalah saat yang tepat untuk memulai kerja karena jika harus berkoordinasi dengan klien yang ada di kantor untuk urusan yang sifatnya penting, jam tersebut adalah jam paling tepat, tidak terlalu pagi dan juga tidak terlalu siang untuk menindaklanjuti hal penting tersebut. Selanjutnya, sepanjang waktu kerja ini, jika memang tidak ada hal-hal yang musti dikerjakan, saya bisa “me time” and chill. Bisa juga memasak, atau bikin janji bertemu dengan kawan. Di sela-selanya, tentu saja saya tetap melakukan “checking” di semua perangkat kerja saya, untuk sekadar memantau laju kerja atau memantau progres pekerjaan yang dilakukan oleh tim di bawah asuhan saya.
Selesai. Saatnya nyantai…. - 18.00-22.00
Adalah waktu saya menginstirahatkan otak dari setingan kerja ke setingan istirahat. Penting buat kita mengubat setingan (cara berpikir) otak supaya otak tidak dalam mode waspada kerja senantiasa. Santai dulu lah…. meskipun kenyataannya bisa saja berkata lain. Kerja di rumah itu waktunya tidak tak terbatas. Meskipun sudah diset sedemikain rupa, namun kenyataan di lapangan terkadang mengharuskan kita tetap “terjaga” saat sewaktu-waktu dihubungi harus siap sedia. Meski dalam mode santai sekalipun, saya tetap memantau laju pergerakan layar hape, barangkali ada pesan penting dari tim kerja/klien. Saat hendak tidur, saya memastikan sekali lagi semua grup kerja, apakah ada hal penting yang bisa ditunda dikerjakan besok, atau kudu sekarang diselesaikan. Selanjutnya, bisa tidur dengan tenang.
- 09.00-17.00
2. Kelola keriuhan.
Ketika di kantor, selalu ada jeda dalam setiap pekerjaan. Kadang kita bisa main game atau ngecek social media di depan komputer kita ketika sedang tidak ada hal penting yang harus dikerjakan segera. Atau kita bisa sejenak ke pantri untuk bikin kopi. Atau melipir ke ruangan atau meja sebelah hanya untuk membahas season drakor yang lagi heboh. Iya atau ho oh? Begitulah… tanpa sadar, kita mengelola kesibukan kita sehingga masih bisa melakukan hal-hal tersebut. Nah, terapkan juga hal tersebut ketika kerja di rumah. Ada jeda waktu yang bisa kita manfaatkan untuk (misalnya) bergumul dengan anak sejenak sehingga si anak tidak merasa diabaikan. Nonton serial drama atau film favorit di TV berbayar dengan tentu saja mode siaga kerja, jadi sewaktu-waktu ditelepon/WA/email, kita bisa langsung memberikan respon. Sama persis ketika sedang di kantor, saat lagi asik lihat youtube, kita bisa langsung pause dan balik kerja lagi kan? Tontonan bisa ktia paused sejenak kan? Jangan biarkan kita terlena dengan yang bukan waktunya untuk dinikmati, set pikiran kita bahwa ini adalah jam kerja, jadi utamakan yang kudu diutamakan. Maka nikmatnya kerja dari rumah ada digenggaman.
3. Persiapkan tampilan diri, jadi sewaktu-waktu dibutuhkan untuk tatap muka jarak jauh, diri ini sudah siap. Anggap saja kita sedang ngantor dengan baju nyantai. Jadi saat dibutuhkan, hanya tinggal ganti baju saja. Jangan biarkan wajah acak-acakan, selain nggak enak dilihat, juga bikin mood meeting seluruh ruang, meskipun nggak signifikan, akan terpengaruh juga.
4. Pilih perangkat kerja jarak jauh yang paling nyaman buat digunakan.
Ada banyak aplikasi yang bisa digunakan untuk mengelola kerja tim, seperti Trello misalnya. Atau WAG juga bisa optimal untuk yang sifatnya koordinasi semata. Dan sisanya bisa dicar di mesin pencari.
5. Persiapkan mental.
Bahwa kerja di rumah itu waktunya tidak tak terbatas. Jadi jangan sering menggerutu atau kesal karena sering diganggu pekerjaan. Itulah kenikmatannya. Pekerja dari rumah itu tidak punya “privilege” menikmati sedapnya hari libur, karena bagi mereka setiap hari adalah hari libur. Bisa piknik kapanpun tanpa perlu menunggu long weekend atau libur panjang lainnya. Demikian pula dengan urusan kerja. Kapanpun, dimanapun, harus bisa dihubungi adalah poin penting yang tidak boleh diabaikan.
Di era Kerja Dari Rumah akibat Pandemic Covic-19 ini, kita diharuskan bisa mengubah pola hidup, dimulai dari mengubah paradigma tentang apa itu kerja dari rumah, lalu kemudian belajar mengatur dan mengelola waktu serta menerapkannya hingga menjadi kebiasaan baru, sehingga tak ada lagi alasan itu itu untuk membenarkan yang keliru.
Sudahkah kita siap dengan dunia baru, atau hanya ingin menghabiskan waktu dengan menggerutu?
Salam,
/ww
Catatan: Tulisan lama yang didaur ulang untuk menyesuaikan waktu yang berubah dan perlu diabadikan di sini.
Salah satu keunggulan work from home adalah selalu bisa dekat dengan anak. Eh tapi ya gitu, kadang si anak juga suka bikin repot pas sedang work, haha.
mbok aku dijak mbak…
Banyak enaknya atau nggak enaknya mbak?