Malam tadi, selepas menyantap steik terenak yang pernah saya coba di salah satu restoran di Marienplatz, kami memutuskan pulang, karena musti berkemas untuk perjalanan esok hari ke Berlin. Iya, ini malam terakhir di Munich.
Seharusnya malam ini saya ada di salah satu kota kecil di sekitar Munich, karena ingin menikmati suasana pedesaan orang Eropa. Namun selepas dari Allianz Stadion -markasnya Club Bola Bayern Munchen, saya mengubah rencana.
“Balik ke Marienplatz aja yuk. Pengen duduk-duduk di sana menikmati malam dan ke toko buku yang tempo hari itu. Aku suka tempat tersebut. Terkesan kuno namun penuh pesona.” Ajak saya ke kawan yang menemani selama saya di Munich.
Dan ke sanalah kami, melupakan Herrsching dan Ammersee, menuju Marienplatz.
Marienplatz malam ini tidak seramai ketika saya datang pertama kali. Mungkin karena ini malam Paskah, jadi sebagian dari mereka lebih memilih beribadah. Suara biola dan akordion yang dimainkan oleh pemusik-pemusik jalanan menambah syahdu malam tadi. Kami menyusuri jalanan sembari merapatkan jaket dan syal. Suhu udara di luar masih dikisaran angka di bawah 10 derajat celcius. Membuat jari2 tangan yang tidak diselonsong sarung, akan kaku kedinginan. Orang-orang yang duduk di plataran kafe-kafe yang ada di Marienplatz memesan minuman yang sama, Bir gelas besar. Dan tatapan mereka semua juga sama, menuju ke satu titik, langit di atas Rathaus-Glockenspiel, Mary’s Column.
Ada rembulan di sana. Begitu cantik, anggun, dan angkuh. Saya terkesima. Malam yang sangat indah, tak akan pernah saya lupakan. Nuansa malam itu seolah ingin mengucapkan selamat tinggal, “til we meet again, Wik.” Terdiam lama di sana, melupakan jari2 tangan yang mulai kaku2 kedinginan akibat keluar dari sarung tangan untuk memudahkan memencet tombol kamera di handphone. Membiarkan pipi yang mulai berasa ba’al karena terus dielus oleh angin dingin. Melupakan kenikmatan kue-kue di Rischart Bakery, salah satu toko kue terkenal di Munich yang antrian pembelinya selalu mengular panjang, yang sepanjang perjalanan menuju subway sempat terbayang kenikmatannya. Rembulan yang muncul antara runcing gedung-gedung tua di Marienplatz membuat saya melupakan semuanya. Keangkuhannya mmbuat saya terpesona. I’ll be back again, darling… I’ll be back again…
Munich, kota modern yang natural. Tidak terkesan artificial seperti kota-kota modern yang saya ketahuai. Tempat hunian yang menyenangkan, tidak ramai namun tidak juga sepi. Dengan moda transportasi yang saling terhubung yang memudahkan kita untuk menyusuri dari “U” hingga “S” subway train, dari satu trem ke trem lainnya, dari satu blok jalan kaki, ke blok-blok yang lainnya.
Saya menyeruput kopi di restoran hotel tempat saya menginap. Kopi pahit, yang ketika saya campur dengan banyak gula —saking pahitnya kental sekali— dan dua cup kecil susu segar, menjadi minuman kopi susu yang sangat enak. Entah karena memang kopinya yang enak, atau karena perpaduan susu dan gulanya yang pas, atau karena Munich ingin memberikan kesan terbaiknya kepada saya.
Seseorang yang tengah mencari “belahan hatinya” di masa lalu.
Semuanya terasa tak asing lagi…..
#Gendhuk, Tentang Sebuah Reinkarnasi.
Munich, April 2018.