Twitwar dua orang LAKI-LAKI DEWASA berujung pada duel fisik. Sengaja saya pertebal kata-kata “Laki-laki dewasa” untuk diketahui bahwa yang melakukan tindakan tersebut bukanlah anak-anak di bawah umur, ABG, apalagi alay.
Berita yang tergolong epics fail ini tentu saja sudah menjadi viral, menyebar ke beberapa social media platform lainnya untuk jadi bahan becandaan dan olok-olokan. Pertama kali membaca berita ini dan lantas “stalking” untuk mencari tahu hal ikhwal secara utuh, saya dibuat tertawa ngakak dengan hasil temuan. Bagaimana tidak tertawa, jika alurnya kira-kira seperti ini:
Twitwar (selisih paham via twitter) –> dikompor-kompori oleh follower (yg bisa jadi cuma iseng dan menjadikan hal ini sebagai hiburan) –> DUA LAKI-LAKI DEWASA terprovokasi oleh suasana –> Salah satu menantang duel fisik –> Follower/watcher makin banyak yg “ngompori” –> Tantangan duel diterima –> Kompor makin banyak –> terjadilah duel –> Ditonton oleh beberapa orang yang juga ikut terlibat mengomentari twitwar mereka –> difoto, di-live tweet-kan –> Salah satu kalah –> Yang kalah diolok dan dipuji, yang menang dipuji dan diolok-olok (nggak ada bedanya) –> Yang menang (mau aja) diambil fotonya bersama dengan para pendukung (?) sehingga terlihat jelas mukanya seperti apa –> dan hampir 80% pengguna social media yang terlibat membaca serta mengomentari pertarungan DUA LAKI-LAKI DEWASA ini mentertawakan tindakan mereka berdua sebagai sebuah tindakan yang konyol dan tidak patut dicontoh. Iya, dua-duanya jadi bahan tertawaan di dunia maya.
Jadi gimana? Enak duelnya?
Selama mengamati beberapa hal yang terjadi di ranah social media terutama di Twitter, saya melihat pola sebab yang sama, KETIDAKDEWASAAN dalam mengelola emosi. Banyak yang mudah “dibuai” oleh status-satus yang dikirimkan kepada mereka dari orang-orang yang bisa jadi tidak mereka kenal baik, atau malah belum dikenal sama sekali.
Tweet di-RT banyak orang lantas jadi pongah, merasa buah pikirannya disukai dan dianggap keren. Padahal yang me-RT bisa jadi tidak kagum/suka dg twit tsb, bisa jadi RT sambil lalu untuk mengakrabkan diri, bisa jadi karena suka dg tweet tsb, bisa jadi karena ingin menyebarkan “ketololan” yang terbaca pada sebuah tweet yang tidak disadari si empunya, bisa jadi karena alasan pribadi seperti suka sama si empunya tweet, bisa jadi karena alasan-alasan lainnya. Dan untuk banyak alasan tersebut, sayangnya cuma si peng-RT yang tahu apa maksud sebenarnya.
Banyak follower, lantas jadi pongah, merasa diri lebih oke dari yang followernya sedikit. Bahkan banyak dari orang berfollower banyak lantas memandang sebelah mata dengan akun yg berfollower sedikit. Padahal di kenyataan, tak jarang figur yang berfollower sedikitlah yang sebenarnya lebih pantas memandang sebelah mata sama si follower banyak karena mungkin alasan status sosial yg lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan atau posisi karir yang lebih oke.
Dipuja-puji lantas menjadi lupa diri, menganggap dirinya laksana malaikat. Padahal yang memuja dan memuji bisa jadi melakukan hal tersebut karena alasan-alasan seperti halnya alasan meng-RT.
Dicaci, dicela, atas apa yang ditweetkan lantas menjadi terpengaruh emosinya. Padahal bisa jadi yang mencaci dan mencela melakukannya dengan keadaan sambil senyum-senyum, sambil lalu, atau bahkan sambil mencumbu yang terkasih.
Banyak pengguna social media Twitter mudah lupa diri atas apa yang mereka dapatkan di sana. Mudah lupa hanya karena alasan pengikutnya banyak, RT an mengalir, respon bejibun, hingga kemudian melakukan hal-hal yang seharusnya tidak patut dilakukan hanya untuk alasan-alasan tersebut. Mudah lupa bahwa yang mencaci, mencela, memuji, sebenarnya melakukannya bisa jadi tidak dengan tulus hati. Social Media seperti Twitter telah menjadi manifestasi atas sifat pasif agresif seseorang. Seseorang yang pada dunia nyata tidak berani menampilkan reaksi penolakan atas sesuatu, lantas mengeluarkannya via social media. Seseorang yang pada dunia nyata tidak berani menampilkan yang jelek-jelek karena alasan norma dan aturan, lantas menyalurkannya via social media. Hal-hal negatif yang tidak mampu dikeluarkan di dunia nyata, disalurkan via social media, yang lantas jika hal ini dilakukan secara terus menerus maka yang negatif akan menjadi nyata. Karakter terbentuk melalui apa yg dilakukan secara terus menerus.
Lalu bagaiman untuk membuat diri kita tidak mudah larut terhadap keadaan yang disajikan di dunia maya?
DETOKS SOCIAL MEDIA. Jika kita merasa mudah dipengaruhi emosinya oleh status seseorang, maka sudah saatnya untuk sejenak meninggalkan ranah tersebut, menetralkan hati, jiwa, dan pikiran.
Jika kita merasa belum dewasa secara emosi dalam bermain social media, paling tidak gunakanlah akal sehat. Itupun jika punya.
Salam,
Wiwik
PS: Buat adik-adik yang masih belum dewasa, hati-hati jika main-main di social media ya.. Ada pepatah mengatakan, “Semua pengguna internet adalah anjing sampai terbukti bahwa mereka bukan anjing.” Maksudnya adalah, jangan mudah percaya dan menanggapi atas apapun yg kita temukan di dunia maya. Internet mengakomodir kebutuhan seseorang yang kita kenal untuk menjadi orang lain yang tidak kita kenal.
niat banget ya, apapun motivasinya keduanya memang selo banget. :)
wah. aku telat ketinggalan momen
“Padahal di kenyataan, tak jarang figur yang berfollower sedikitlah yang sebenarnya lebih pantas memandang sebelah mata sama si follower banyak karena mungkin alasan status sosial yg lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan atau posisi karir yang lebih oke.” –> wah, aku banget ini, Wik. *eh *ngacir sebelum dibalang teklek
Dari kemarin timeline fb twitterku seputar lelaki dewasa yang berkelahi itu, dan aku sama sekali ga tertarik untuk baca kepo kenapa mereka berantem.
Entahlah bagiku mereka orang yang ga pantes dikasih panggung, kayak caper banget. Emosinya labil.
:/
Sepertinya dua2nya emang baru belajar twitteran mbak, tapi memang banyak yg menertawakan kok hahaha
Saya jadi teringat kasus kontroversi Ustad Felix beberapa minggu lalu. Tapi nggak sampe adu jotos, sih. Hehehehe.
Dengan mengabaikan pendukung masing2 dan penggembira, pihak yang nantang saya anggap konyol, tapi saya bisa menghargai pihak yang menerima tantangan duel (meskipun tahu bakal kalah). Itu juga bagian dari harga diri yang bersangkutan. ;)
Banyak orang sumbunya pendek, ditambah dengan adanya media sosial yang bisa “masuk” ke mana saja membuat si sumbu pendek lebih gampang meledak.
Yuk piknik yuk, Mbak.
PS: Buat adik-adik yang masih belum dewasa, hati-hati jika main-main di social media ya.. Ada pepatah mengatakan, “Semua pengguna internet adalah anjing sampai terbukti bahwa mereka bukan anjing.” Maksudnya adalah, jangan mudah percaya dan menanggapi atas apapun yg kita temukan di dunia maya. Internet mengakomodir kebutuhan seseorang yang kita kenal untuk menjadi orang lain yang tidak kita kenal. <– Ini point yg terpenting sih dan bukan hanya utk adik2 lho….yg umurnya dewasa pun banyak yg ternyata belum dewasa.
Anyway it's a good blogpost mbak…:-)
he eh isih cilik2 kui do gelut
Mungkin gelut itu membantu mendewasakan mereka…
Kedewasaan di internet tidak sama dengan kedewasaan fisik. Itu yang kadang tidak disadari…
Suka banget mbaaaak sama tulisan ini. Nggampar abis!
Apalah merasa hebat di sosial media kalau nyatanya cuma deburan upil. Makasih tulisannya mbak. Sumpah tepat banget di pipi x)