Aku lahir di kota ini.
Menikmati masa kecil yang menyenangkan dan masa remaja yang seru. Tapi, hati ini tak pernah tertambat ke kota ini. Panas, bising, khas kota industri.
Kemudian, ketika sudah mulai sering berkunjung ke kota lain, aku malah jatuh hati sama Malang. Kota kecil, sejuk, rapi. Jam 3 sore, kabut turun mengenai kaki yg sedang berjalan menyusuri kota. Pagi hari, dinginnya “rak mekakat”. Cocok buat minum Teh dan Pisang Kepok Rebus. Damai. Pernah mau dijodohkan sama anak tetangga kakakku, juragan kos-kosan di Daerah Batu. Aku menolak, karena anak itu dandanannya kayak preman, tapi jaketnya gambar miki mouse. Gak masuk akal banget. Buatku yg masih sangat ranum dan mudah ngambek untuk hal-hal yg dipaksakan ke diriku.
Kelak, aku tahu, Malang hanya semacam cinta pertama semata.
Karena kemudian, hatiku dirampok habis oleh Jogja. Setiap sudutnya, kalo aku lewati saat ini, meninggalkan kenangan manis. Kawan-kawan yang seru, lucu, baik, dan banyak kegilaan serta hal baru aku lalui di kota itu. Sebagiannya hingga kini masih tak bisa dilepas, harus selalu kudu dikunjungi, makam bapakku.
Bicara soal makam, aku jadi ingat dua cerita lucu.
Cerita lucu pertama,
Aku dan dua orang kawan perempuan naik motor boncengan bertiga, karena alasan jarak yg dekat dan hanya di dalam kampung. Waktu itu jam 8 malam, kami menyusuri jalan menurun yg sebelahnya makam. Semua diam, memperhatikan jalan. Tiba-tiba dari arah samping kiri, jalan dengan kencang menyalip kami baju putih-putih. Kawan yg pegang setir,
“Astaghfirullah! Apa tadi?” Tanyanya ke kami.
“Apaan?” Jawabku
“ituu… Tadi yg lewat. Putih-putih.”
“Putih-putih apa?” Masih aku yg menjawab sembari mencubit paha kawan yg duduk paling belakang, memberi kode.
“Astaghfirullah…. Masak kalian gak ada yg lihat sih?”
“Apaan sih? Kamu ngomong apaan? Putih2 apa? Kamu lihat, Bin?” Tanyaku ke kawan yg duduk di belakng.
“Enggak. Aku gak lihat apa2, aku fokus pegangan. Takut jatuh. Emang pada lihat apa?”
“Set… Setaaaaaan…….” Kawanku teriak kencang sambil ngacir, pancal gas lebih kencang.
Kami bertiga kelabakan. Rambut ngacir ke sana ke mari akibat diterpa angin kencang. Bibin makin kencang pegangan, takut jatuh. Aku kegencet di tengah2. Kawan yg di depan masih ngacir dg gasnya.
“Wooi… Kalem wooii…. Gak ada setaaan…”
“Adaaa…. Aku lihat, putih2 terbaaang.”
“Bukan setan ituuuu….” Aku dan Bibin mrnjawab serentak.
“Hah? Kalian lihat juga?”
“Ya dooong…”
“Apaan tadi putih2?”
“Tuuh… Di depan.”
Bapak2 berbaju koko putih, sarung item, sepeda item, ngayuhnya cepet banget, di jalanan menurun yg gelap tanpa penerangan jalan. Kebayang kan….. Wuuussss… Lalu ilang di jalan yg kebetulan belok, menyalip kami yg mengendarai motor dg sangat pelan.
Begitulah.
Banyak hal konyol masa muda kami lakukan di Jogja.
Tapi ketika waktu berjalan, Semarang ternyata menyedot perhatianku jauh lebih banyak dari dua kota yg aku pikir telah merampok hatiku. Cinta yang ternyata tersimpan jauh lebih dalam tapi tak pernah dirasakan. Rasanya tak cinta, tapi segenap jiwa raga memikirkannya senantiasa. Dan selalu ingin pulang ke sana…..
Rindu pulkam, eh, mudik.
/ww