Terlambat.
Bergegas saya menuju ruangan tempat acara berlangsung. Sudah rame, dan tentu saja acara telah dimulai. Sembari duduk saya membuka materi yang dibagikan.
Michiko Ogawa, perempuan yang sedang berdiri di podium, General Manager of CSR & Citizenship Group, Groupwide Brand Communications Division, Panasonic Corporation, sedang menyampaikan sesuatu. Tentang Solar Lantern Panasonic yang mencerminkan komitmen brand tersebut untuk terus mendukung perkembangan masyarakat di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Solar Lantern?
Bayangan saya terbentuk sebuah benda mirip petromak yang dayanya diambil dari sinar matahari.
Dan ternyata salah.
Bentuknya tidak mirip sama sekali dengan Petromaks. Namun demikian, Solar Lantern memiliki kesamaan dalam hal fungsi. Sama-sama membantu memberikan alternatif cahaya saat tidak ada listrik. Saya mendengarkan dengan seksama penjelasan yang diberikan terkait dengan benda yang menarik perhatian saya ini. Bentuknya tidak begitu besar, termasuk benda yang masuk kategori “cangkingable” alias mudah dicangking, atau dibawa ke mana-mana.
Saya mengamati benda yang kebetulan display-nya ada di sebelah saya persis. Membaca lampiran, mencari tahu dua komponen yang termasuk dalam solar lantern; Panel Surya & Lentera Surya. Panel Surya, benda berbentuk bujur sangkar, dengan dasar permukaan berwarna hitam dan terbuat dari kaca. Fungsinya adalah menyerap tenaga dari Sinar matahari untuk kemudian disalurkan melalui konektor ke Lentera Surya. Lucu juga. Saya mengamati dengan seksama kedua benda tersebut. Membaca ulang petunjuk cara kerja Solar lantern, dan membayangkan proses kerjanya: Jadi, jika ingin menyimpan daya ke dalam lampu, tinggal letakkan Panel Surya di bawah Sinar Matahari secara langsung dengan konektor tersambung ke lampu, lalu secara otomatis daya akan tersimpan di dalam Lentera Surya.
Secara teknis, cara pengoperasiannya hampir mirip dengan apa yang saya bayangkan. Hanya saya lebih detail, misalnya dalam buku panduan dijelaskan bahwa selama pengisian daya, lampu indikator pengisian akan menyala merah. Dan setelah daya terisi penuh, atau setelah matahari tenggelam, lampu indikator tersebut akan mati dengan sendirinya. Waktu yang diperlukan untuk daya terisi penuh adalah sekitar 6 jam di bawah sinar matahari langsung. Karena jika diletakkan di balik jendela kaca, atau di bawah pohon, atau saat berawan, maka akan mempengaruhi efisiensi pengisian daya tersebut, sehingga efeknya pengisiannya akan membutuhkan waktu lebih lama dari yang seharusnya.
Menarik.
Dengan hanya mengandalkan Sinar Matahari, kita dapat memenuhi kebutuhan akan penerangan tanpa listrik selama kurang lebih 15 jam dengan mode pencahayaan sedang. Tentu saja ini sangat membantu, terutama buat daerah-daerah yang belum tersentuh listrik atau pun daerah-daerah yang terkena krisis pasokan listrik dari PLN. Di samping penerangan, Solar Lantern ternyata juga dapat digunakan sebagai sumber pengisian daya alat elektronik (telepon genggam, dll) berdaya rendah dengan USB port. Lumayanlah, dengang harga yang relatif terjangkau -sekitar Rp 550ribu- bisa mendapatkan benda kebutuhan masyarakat masa kini yang memiliki akses listrik terbatas. Termasuk di dalamnya bisa jadi generasi social media yang addict terhadap penggunaan gadget mereka.
Masih menurut Michiko Ogawa, Panasonic Corporation, melalui program 100 Thousand Solar Lantern Project, akan menyerahkan donasi 1.000 Panasonic Solar Lantern kepada masyarakat Wilayah Kahaungu Eti, Kepulauan Sumba dan Wilayah Anambas, Kepulauan Sabu, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk membantu masyarakat yang memiliki keterbatasan akses listrik.
Saya mengamati lembar panduan yang lebih banyak didominasi oleh gambar-gambar yang berisi instruksi penggunaan Solar Lantern. Terlihat mudah dipelajari. Otak saya terus berpikir, jika kebutuhan dasar manusia akan pasokan listrik sudah bisa diantisipasi dengan menggunakan daya matahari, seharusnya tak perlu dikhawatirkan lagi adanya krisis pasokan listrik di masa mendatang. Dengan catatan, Matahari tidak sering ngambek.
Saya melempar pandangan ke luar jendela, Terik. Semoga sinar Matahari benar-benar bisa mengentaskan problem pasokan listrik di negeri tropis ini.
Salam,
Wiwik
Sebenarnya energi matahari yg diubah menjadi listrik sudah banyak ditemukan & dibuat alat untuk aplikasinya. Cuma entah kenapa susah menerapkannya di kalangan pengguna listrik yg sudah biasa pakai pembangkit (PLN)
Mbak Tika: Mungkin faktor sosialisasi yang kurang menyentuh pemahaman warga terhadap pemanfaatan sumber daya matahari sebagai pengganti listrik, atau faktor alat penunjang yang mungkin susah didapatkan sehingga membuat warga masih mengandalkan listrik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
menarik yaa… sebenernya ini lebih penting untuk orang2 di kota besar ya.. secara masyarakat kota besar itu pemakaian listriknya tegorable banget (halah). Duh, jadi pingin. Kotaku sering mati listrik, dan lampu cas harus terus dicolok 24/7. Bayar listriknya bikin ngap-ngapan :/
Sebenarnya benda semacam solar lantern ini bisa digunakan oleh seluruh masyarakat dari berbagai golongan. Mengingat saat ini listrik sudah menjadi kebutuhan dasar hidup, sehingga selaiknya memang ada sumber daya cadangan, sehingga kehidupan tak akan mati jika tiba-tiba listrik kehabisan dayanya :D
Tapi nanti, jika sinar matahari bisa dijadikan cadangan daya pengganti listrik, akankah listrik menjadi murah meriah? Dan jika sudah murah meriah, akankah kita menghambur-hamburkan pemakaiannya sehingga kemudian pasokannya akan menipis dan akhirnya menjadi langka kembali?
Kusut sih… :D
“Semoga sinar Matahari benar-benar bisa mengentaskan problem pasokan listrik di negeri tropis ini” — AMIN
*ketjoeps nunik*
Memang seharusnya semuanya sudah tersedia secara berlimpah di alam kita yang kaya, matahari, gas alam, panas bumi, air, angin, bahkan sampah semua bisa menjadi sumber energi listrik. Yang belum adalah dukungan pemerintah untuk mendukung generasi muda yang cemerlang untuk mewujudkan semua ide/hasil penelitiannya.
Indonesiapun pasti bisa, karena kita punya banyak bintang cemerlang. Beri mereka kesempatan dan dukungan dan… jayalah Indonesia, merdeka!!
Setuju, mbak Titi! Sumber daya kita itu melimpah, hanya kadang kita kurang bisa memanfaatkannya secara maksimal ya..
inspiratif ya idenya…klo di jogja bisa dibeli dimana ya?
Mak irul : Untuk ketersediaan produk ini, saya kurang tahu, mak.. nanti coba saya guglingkan. halah :D
Jadi inget program kelompok KKN dulu, ada program solar panelnya karena di desa tersebut belum ada listrik. Tapi yang bikin teman dari elektro sih, akunya penyemangat aja heheee….
Kalo daya ke hatimu gimana caranya konek? Susah amat ditembusnya :D
Penyemangat itu modal juga dalam pencapaian sebuah usaha, mbak lusi. Kalo nggak ada yang nyemangati, belum tentu program KKN itu bisa jalan :D
kalo bisa dibikin lebih gede bagus tuh …. bisa buat nerangin jalan sekampung …..
Aku nggak ngerti. Jika memang solar lantern bisa menggantikan PLN, kenapa tidak dipasarkan ke rumah tangga? Kenapa harus jauh-jauh ke NTT?
Apakah menjual solar lantern tidak bisa semudah seperti menjual genset?
Secara fungsi, solar lantern belum bisa memenuhi kebutuhan pasokan listrik sebesar daya yg diberikan PLN. Namun tidak menutup kemungkinan jika dikembangkan, bisa jadi daya listrik yang diambil dari PLTA bisa tergantikan dengan matahari.
Pasokan ke NTT karena di sana belum ada listrik, penerangan tentu saja masih terbatas. Solar lantern bisa jadi alat untuk mengakomodasi kebutuhan penerangan tsb. Kebutuhan lebih kompleks masyarakat perkotaan spt mesin cuci, water heater, kulkas dll yang berdaya besar, sepertinya blm bisa diakomodir alat sekecil solar lantern ini.
Ke depan, belum tahu nih pengembangan Solar lantern ini akan seperti apa.
Gitu bu dokter vicky… :)
Wah, aku baru mau bikin postingan tentang ini! *nyontek*
DAN SELAMAT ULANG TAHUN MBAK WIWIK! :D
haha.. makasih, Ariiev.
Solar lanternnya bisa dipakai buat mengaliri listrik KRL nggak?
Halah.