Bulan Purnama itu selalu jadi kawan setianya. Dan setiap kali purnama pula, ia selalu duduk di luar, di teras kamarnya, untuk kemudian melakukan percakapan dengan sang Bulan.
Percakapan apa adanya, tanpa tendensi dan pretensi. Percakapan sederhana tentang arti berdiam diri. Tentang ia, Bulan, dan hening malam.
Seperti malam ini.
Dengan segelas jus melon di tangan, dan setoples kecil kacang mete, ia duduk di teras kamarnya. langit terlihat sangat bersih. Bulan kali ini penuh dengan sempurna, terang, dan sendiri. Bintang tak diperlukan kerlipnya malam ini.
+ Aku gagal lagi
– Kenapa?
+ Entahlah… ada kekuatan lain yang seolah-olah tak menghendakiku pergi darinya.
– Mungkin itu hanya refleksi dari alam bawah sadarmu, yang memang tidak menghendaki orang lain selain dirinya.
+ Mungkin …
– Tapi kamu kan tidak bisa terus seperti ini, sementara ia sudah semakin menjauh darimu.
+ Tak mengapa. Aku akan tetap di sini, meski mungkin ia tak akan pernah kembali.
– Tapi buat apa?
+ Aku tak tahu. Aku hanya ingin selalu ada untuknya. Aku ingin, saat ia merasa sedih dan sendiri, paling tidak ada satu tempat yang bisa ia tuju.
– Itu kalau ia merasa seperti itu, kalo tidak?
+ Ada masa ia akan seperti itu.
– Kenapa kamu begitu yakin?
+ Karena akulah bagian dari dirinya yang seharusnya melengkapi hari-harinya.
– Itu kan cuma harapanmu semata, tapi kenyataan tidak berkata demikian.
+ Takdir…. Kami sedang mencoba mengingkarinya. Tak mengapa aku menunggu di sini, karena aku sudah lelah harus terus berlari. Tak mengapa juga kalo ia tak kembali lagi, karena aku yakin ada kehidupan setelahnya yg akan mempertemukan kami kembali.
– Kalo ia bisa memilih pergi dan berlari dari sesuatu yang kamu namakan “takdir”, kenapa kamu harus memilih untuk menunggu?
+ Aku menyayanginya…. aku tak ingin kelak, saat ia kembali, ia tak menemukanku di sini. Aku tak bisa menjanjikannya apapun selain kesetiaan.
– Apakah ia tahu tentang kesetiaanmu ini?
+ Entahlah.. Aku tak memusingkan soal itu.
Telepon berdering. Tak hendak dilihat, apalagi diangkatnya. Saat seperti ini ia hanya ingin berkawan dengan diam. Deringan telepon itu berhenti. Dia lihat sejenak siapa yang menelponnya, Deg! Nama itu. Nama yang tak pernah diinginkannya muncul dalam layar ponselnya. Nama yang membuatnya punya alasan untuk tidak pernah ingin mencintai orang lain.
Bulan terlihat tertutup kabut. Seperti juga matanya…
Salam,
-Wiwik-
*bisa baca juga Tesserae 1 , Tesserae 2 , & Tesserae 3
Cara bertutur Wiwik selalu mengejutkan. Tidak terduga dan membuat saya berpikir. (Wiwien Wintarto; novelis Fade in Fade out)
ndak bisa komen.
*langsung mikir*
tenang tapi mengalir. hanyut tanpa disadari :)
*sodorin kayu, biar ndak kintir*
iki curcol mesti *nuduh*
om warm, ah.