Suatu hari di Kota Bebek,
Penjual koran berteriak menawarkan dagangannya :
“ Berita terakhir! Menteri keuangan tidak jujur mengelola keuangan negara!”
Perkelahian antara suami istri di jalan :
“Pembohong! Sepanjang siang kau hanya main bilyar!”
“Tidak sayang, seharian aku jalan di Taman.”
Sang Istri memukulkan gagang payung disela-sela kejar-mengejar dengan suaminya.
Iklan di radio :
….. INILAH KEBENARAN…..
Lang Ling Lung melihat itu semua, dan ia menjadi prihatin,
“ Yah, Lampu, di dunia ini kadang-kadang kejujuran dan kebohongan tidak ada bedanya.”
Sebagai seorang penemu, maka Lang Ling Lung pun bereksperimen untuk menemukan sebuah ramuan kejujuran,
“Kau tahu, Lampu? Aku menemukan sesuatu sehingga setiap orang akan mengatakan kebenaran.”
“Aku sekarang mencampur penghalau kebohongan dengan garam murni! Hati-hati, karena campuran ini bisa meledak….”
Dan ramuan itu pun meledak tepat di saat Gerombolan Si Berat yang sejak awal sudah mengetahui rencana Lang Ling Lung ingin merebut ramuan kejujuran tersebut. Rencananya, mereka ingin menggunakannya untuk kepentingan mendapatkan nomor kode rahasia mesin uang Kota Bebek.
Ramuan yang sudah meledak tersebut, molekul-molekulnya berkumpul membentuk sebuah awan yang kemudian berarak menuju ke tengah Kota Bebek dan turun menjadi titik-titik air hujan. Seluruh Kota Bebek basah oleh guyuran air hujan dari ramuan kejujuran milik Lang Ling Lung. Alhasil, terjadilah kegemparan!
Laki-laki berpenampilan sopan sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita,
“ Jadi, anda pikir saya adalah tipe laki-laki yang sopan? Baiklah, akan saya jelaskan….”
PLOK!
Percapan antar teman,
“Jadi, aku botak? Katakan lagi kalo berani!”
BUK!
“Wajahmu jelek! Hahahhaha……”
PLAK!
BUG!
GRRR!
GABRUKS!
SADUKS!
GLEK! …… Lang Ling Lung pun hanya bisa menelan ludah. Ia tak pernah berpikir bahwa kebenaran bisa menimbulkan keributan.
Di akhir cerita, Lang Ling Lung terpaksa harus mengungsi ke pulau terpencil karena seluruh warga kota bebek mencarinya, terkait pengakuannya (yang juga diakibatkan oleh efek dari ramuan kejujuran) tentang temuannya tersebut.
Ya. Cerita di atas hanya cuplikan dari cerita Donal Bebek yang pernah saya baca. Saya jadi berpikir, jika di kehidupan nyata hal tersebut terjadi, apakah kejadiannya akan sama seperti di Kota Bebek? Apakah akan ada keributan karena setiap orang menjadi jujur dengan apa yang ia rasakan dan katakan?
Lalu saya mencoba berpikir lebih sederhana lagi, bisakah saya menerima sebuah kejujuran walau itu terasa pahit dan menyakitkan buat saya? Bisakah saya tidak menjadi benci dan marah kala seseorang mengatakan dengan sejujurnya dari kondisi fisik, tingkat kecerdasan, lagak, sikap, cara berhubungan yg buruk, cara pandang yang mungkin salah, dan hal-hal lainnya yang terkait dengan saya?
Jawabannya, Tidak Selalu. Kemungkinan saya tidak akan selalu bisa menerima kejujuran seperti tersebut di atas. Kemungkinan akan ada langkah-langkah pembenaran, ngeyel, sebel, yang akhirnya bisa saja berdampak secara subyektif ke pembawa pesan kejujuran tersebut.
Yang lebih parahnya lagi, kemungkinan bisa berujung pada pertengkaran dan perkelahian. Jika sudah demikian, sungguh mengerikannya dampak dari sebuah kejujuran.
Dari sini saya jadi berpikir, terkadang menjadi jujur tidak selalu “baik”.
Lalu, apa yang musti kita lakukan? Menjadi tidak jujur, atau menjadi pribadi yang berlapang dada menerima kejujuran yang tak mengenakkan dan menyakitkan tersebut?
Keduanya saya yakin tidak mudah untuk dilakukan. Namun, bukankah kita selalu punya pilihan?
Apa yang menjadi pilihanmu?
salam,
-wiwikwae-
Foto diambil dari letsing4joy
kalo saya sih mah, mau jujur apa enggak, itu ya pilihan di saat diperlukan.
yang paling buat saya adalah, jangan bohong – meski belom tentu jujur. :mrgreen:
aku akan memilih diam, mbak
-halah-
Seperti kebanyakan abg, klo harus milih ditampar pipi kiri apa kanan?
Emmm, galau is in the air… :D
mah, nonton Invention of Lying coba, bagus lhooooo :)
jujur dalam hati, aku selalu mendukungmu, teman! :)
can you handle the truth or you’d like to live in lie?
kalo ga tahan mendengat kejujuran dan lebih suka mendengar apa yg ingin dia dengar –walo itu bukan kejujuran– sama aja membohongi diri sendiri ga si?
kalo terhadap kejujuran dia ga tahan dan balik memaki-maki si pengungkap kejujuran, itu errrr childish ato mature?
in some cases, jangan terlalu jujur… tapi juga jangan berbohong :D
@memeth : perlu diketahui, tidak semua orang selalu bisa menerima sebuah kejujuran yg tidak mengenakkan. Ini bukan masalah mature atau tidak, ini lebih kepada sifat dari manusia itu sendiri. Emosi yang tidak selalu stabil. Seseorang dg tingkat kematangan yang bagus sekalipun ada kalanya dia tidak bisa menerima sebuah kejujuran yg tidak mengenakkan. Hanya saja, reaksinya mungkin tidak separah jika itu terjadi pada orang yg tingkat emosinya blm matang (belum dewasa).
Aku setuju dengan Billy dan Christin, ada kalanya kita tidak mengungkapkan sebuah kejujuran jika itu akan berdampak negatif, namun jangan pula berbohong.
Sik sik.. ono istilah “SADUKS” barang ik hahahaha… ngakak ngguyu kemekelen!
@dv : ben koyone sangar ngono lho, ono saduk2ane harang :D
Kadang kejujuran perlu dibungkus dengan teknik komunikasi yang baik agar tidak menyakiti hati sang lawan bicara. Misalnya saja `Pekerjaan kamu sudah bagus dan kamu juga sudah bekerja keras menyelesaikannya. Namun ada baiknya ditambah sedikit kreativitas agar hasilnya lebih unik dan berbeda`. Di-buffer dulu dengan pujian, kemudian disampaikan kejujuran yang bisa menyakitkan hati itu. :-)
@amyunus : tapi jadi panjang ya…. :))
thank for good share sir and bye
kalau aku milih jujur mengakui kalau AKU CINTA PADANYA #mlipir
Waduh, kok saya ada disinggung2 sih Mbak? Mbak nih jujur sekali :-). Tapi, meski botak2 gini manis kan? Wakakakaka… *GR*
membaca tulisan mbak mmg yahud deh.
kalau saya memilih jujur dg apa yg saya lakukan, so saya terbebas dari ganjelan hati. plong. lega. bersih dan gk ngerasa ngebohongin or nutupin apapun.
pilihan sulit sih memang. :D
Wow, luar biasa orang-orang seperti anda sellau bisa menyelamatkan hidup saya and yes ur right, tidak ada kata terlambat untuk belajar, karena sampai matipun kita akan terus belajar. Dulu saya sering banget minder karena merasa sudah terlambat untuk belajar, tapi pada kenyataannya mengeluh hanya akan membuat saya semakin terlambat So, kapan saatnya kita mulai bertindak yaitu sekarang , bukan kemarin bukan juga besok, tetapi SEKARANG Thank You