Dari kecil, saya belum pernah diajarkan caranya menangis. Karena petuah yang selalu saya dengar dan contoh yang selalu saya lihat adalah, sepedih apapun masalahmu hadapilah dengan senyum. Maka hingga sekarang, meski hati sedang terasa pedih, mental sedang down, emosi drained, fisik akan tetap tersenyum. At least di hadapan publik.
Hingga suatu sore, di sebuah ruang publik yang temaram, syahdu, dan sepi…
+ Jalan hidupuku sungguh aneh. Aku tidak pernah belajar arti bahagia. Yang aku rasakan baru kegembiraan. Kegembiraan yang penuh, dan pada akhirnya selesai tanpa pernah benar-benar merasa bahagia. Selalu begitu. Hingga aku berpikir, mungkin aku memang tidak pantas untuk menjadi bahagia. Maka kemudian, aku belajar untuk menyukai menjadi gembira saja. Kosong sih… tapi itu lebih baik.
Ia terdiam. Matanya menerawang, tubuhnya tersandar di sofa dengan pose sedikit ndlosor. Aku mengamatinya sesaat, menepuk-nepuk pundaknya mencoba memberi kekuatan, kemudian kembali memainkan cangkir minuman. Ia masih terdiam, masih pula menerawang, dan tak lama kemudian ia mengubah posisi duduknya sembari menangkupkan kedua telapak tangan menutupi wajah. Ada tarikan nafas panjang dan hembusan yang terasa berat di sela-sela jemarinya. Hening sesaat, jeda pergantian lagu dari inhouse music. Tak lama, alunan musik yang dimainkan Graham Russel memenuhi ruangan. Syahdu dan sendu. Saya tahu lagu ini, karena hampir semua lagu Air Supply mampu saya kenali dengan baik. Come What May, lagu ini masih mengalun. Sesaat saya lebur bersama lagu tersebut, melupakan sejenak seseorang yang sedang duduk di sebelah saya yang kemudian saya sadari bahunya mulai terguncang. Terhenyak sesaat, dan saya mulai menyadari kalo ia sedang menangis.
Reflek saya memeluknya, meski hanya punggungnya yang mampu saya rengkuh. Tubuhnya masih terguncang, dan tangannya masih tertelungkup di wajah. Saya melepaskan pelukan tersebut, memberinya sebuah bisikan, “Menangislah. Nikmatilah. Aku akan tetap di sini menemanimu.”
Bahunya masih terlihat berguncang, ia benar-benar menikmati tangisnya. Tiba-tiba ada rasa iri menyusup. Saya iri melihatnya bisa menangis seperti itu. Iri melihatnya bisa memperlihatkan kesedihan dengan ekspresi sebenarnya. Ah.. andai saya punya kemampuan seperti itu… Andai tidak cuma senyum dan tawa yang saya pelajari untuk dipamerkan ke orang lain… Andai… Saya menggigit bibir bawah dengan perasaan sendu. Saya jadi ingat alasan kenapa saya begitu menyukai sebuah pelukan, karena saya bisa menyembunyikan segala kesedihan dalam dada orang yang memeluk saya.
inhouse music sudah mengganti lagunya beberapa lagi. Dan tangisnyapun sudah berhenti, tisu yang saya sodorkan untuk menghapus jejak kesedihannya telah dihabiskan separo. Saya menyenandungkan lirik lagu yang sedang diputar, untuk mencairkan suasana. Untuk membuatnya ceria kembali. Dan berhasil. Ia tersenyum, meraih minuman hangat yang sudah tak hangat lagi. Namun ia meminumnya dengan penuh semangat, menyeruput beberapa kali, dan meletakkan kembali dengan kondisi sudah kosong.
+Terima kasih ya, sudah mau menemani. Sudah mau mendengarkan uneg-uneg tak penting ini. Sudah mengajarkan bagaimana yang seharusnya. makasih ya..
Saya bingung. Saya? Mengajarkan apa padanya barusan? Caranya diam? Caranya bersenandung? Cara berbisik? Entahlah… Tapi saya selalu merasa senang, ketika seseorang datang kepada saya dan kemudian pergi dengan perasaan lebih baik.
Jalanan masih terlihat padat merayap, kami sudah meninggalkan tempat tadi menuju ke tempat masing-masing. Satu yang saya lupa untuk disampaikan adalah, ucapan terima kasih bahwa ia telah mengajarkan saya bagaimana caranya mengekspresikan kesedihan.
Tiba-tiba ada genangan air dalam pelupuk mata saya…
salam,
Wiwik
Sedih bacanya tapi suka kalimat, “ketika seseorang datang kepada saya dan pergi dengan kondisi lebih baik”.
Thank you, I take it as a compliment :)