Kemarin sore,
Terjadi sedikit keributan tentang bagaimana mengukur #efektifitasbuzzer yang hanya bisa dilihat oleh sedikit orang saja. Berhubung saya mempunyai baskom yg bisa bergoyang, maka setiap keributan sekecil apapun biasanya tertangkap oleh baskom saya.
#efektifitasbuzzer yang disampaikan oleh mas dbu adalah tindakan standar yg dilakukan oleh para digital agency yang menggunakan jasa buzzer. Pada saat proyek kampanye online telah disetujui konten + strateginya, maka tindakan standar yang biasa dilakukan adalah :
1. Jika konten tweet berisi link yang harus disebarkan, otomatis akan menggunakan jasa pemendek url. Dalam hal ini ada beberapa pilihan :
* bit.ly : web khusus untuk pemendek url. Itu berarti dibutuhkan 2 tab, twitter web & bit.ly.
* hootsuite : twitter client, sudah ada fasilitas pemendek url
* tweetdeck : twitter client, sudah ada fasilitas pemendek url.
* Tap11 : twitter client sudah ada fasilitas pemendek url.
* Yorufukurou : twitter client (khusus pengguna mac), sudah ada pemendek url.
Yang saya sebutkan di atas adalah yang lazim digunakan oleh pengguna twitter, dimana semuanya ada laporan analisanya tentang : berapa jumlah link diklik, penyebarannya, siapa saja yg ngeklik, dan lain-lain laporan standar analitik.
Jika konten tweet yang disebarkan para buzzer tidak mengandung link, maka yang akan dilihat adalah impresinya. Seperti yang sudah diketahui, impresi itu diukur dari jumlah follower + banyaknya RT dan ada pula yang menyisipkan banyaknya mention pada rumus hitungan impresi tersebut. Meski rumus impresi ini masih jadi perdebatan antara saya dan beberapa teman karena keakuratannya, tapi ya sudahlah… kita gunakan dulu rumusan yang ada sampai ada formula yang mendekati akurat tentang pengukuran impresi.
Kenapa saya bilang kurang akurat?
Mari kita ambil contoh akun @wiwikwae yang mem-follow 1.104 orang. Dari pengalaman saya mantengin lini masa, dalam kurun waktu kurang lebih 12 jam, yang bersliweran di TL saya tidak lebih dari 200 akun (ini saya mengambil angka maksimal dari hitungan yg pernah saya lakukan). Itu berarti, ada banyak akun yg tidak saya baca. Kemungkinan memang tidak sedang update saat saya mantengin TL, koneksi lemot sehingga update dia terlanjur tertimpa update akun lain, atau kemungkinan memang akun tsb sudah tidak aktif lagi (dan saya masih tidak punya waktu untuk cek satu-per satu dari 1000 an akun tsb mana yg sdh tidak aktif lagi). Itu berarti, impresi yang didasarkan atas jumlah follower sudah tidak bisa dikatakan akurat, karena kenyataannya, saya bahkan tidak membaca semua akun yang saya follow.
Tapi lupakan dulu soal impresi, sampai nanti saya menemukan formula yg lebih mendekati logika untuk hitungan tersebut.
Oke, kembali ke soal #efektifitasbuzzer
Menurut saya, #efektifitasbuzzer itu dimulai dari awal saat pemilihan. Pemaparan di atas tentang #efektifitasbuzzer dengan melihat impresi dan klik ratio adalah laporan hasil kerja buzzer yang telah terpilih. Jadi kalo ada ketakutan tidak ingin membeli “kucing dalam karung”, ya dari awal saat pemilihan sudah harus jeli.
Saya, sebagai seorang pengguna jasa buzzer untuk beberapa kampanye online yang saya tangani, memilih buzzer dengan metode sederhana.
1. Pada saat ada kebutuhan menggunakan jasa buzzer, biasanya saya akan “mantengin TL”, kemudian dari hasil kegiatan tersebut biasanya saya akan menemukan akun-akun yang saya incar sebagai tim buzzer. Well, saya jarang menggunakan buzzer yang “sudah lazim dipakai” secara terus menerus. Sebagai seorang mamahbaskom, biasanya saya menciptakan buzzer-buzzer baru dari hasil penerawangan akan potensi tersebut.
2. Cara sederhana melihat potensi buzzer disamping jumlah follower adalah dengan melihat respon setiap tweet yg diterima oleh sebuah akun. Semakin banyak respon yg diterima per tweet semakin berpeluang besar untuk masuk ke daftar list buzzer saya. Kenapa saya begitu mempedulikan jumlah respon? Karena itulah impresi nyata yang bisa saya lihat, di luar rumusan yg masih saya perdebatkan tersebut. Berdasarkan pengamatan selama ini, buzzer-buzzer ternama itu per tweetnya rata-rata direspon tidak lebih dari 10 akun berbeda. Ada sedikit akun yang setiap kali ngetweet selalu direspon oleh lebih dari 20 akun. Jadi, kalo sebuah akun bisa mendapat respon lebih dari 5 akun per tweet nya, maka menurut saya, dia layak saya masukkan ke dalam list buzzer saya.
3. Untuk melihat respon pada sebuah akun, cara termudah adalah dengan menggunakan kolom search. Masukkan nama akun yg ingin “dipantau”, amati keseluruhan dari hasil searching tersebut. Dari situ akan muncul sebuah kesimpulan seberapa besar impresi nyata dari akun tsb.
4. Soal follower, saya jarang mempermasalahkan hal ini, karena fokus saya sebenarnya adalah pada impresi alias engagement yang terjadi. Namun karena klien kadang mempermasalahkan hal ini, ya terpaksa saya menuruti permintaannya. Mencari akun-akun dengan jumlah follower seperti yang diinginkan. Saya menganalogikan jumlah follower itu sama seperti jumlah oplah pada media cetak. Jika kita memasang iklan pada sebuah koran yang punya oplah 3ooo eksemplar, belum tentu iklan kita akan dilihat oleh jumlah yang sama. Bisa jadi yang lihat lebih banyak, bisa jadi lebih sedikit dari jumlah tersebut. Tapi toh, dengan rumusan apapun, angka 3000 itu lebih menjanjikan dari 1000 eksemplar.
5. Namun bicara soal follower di twitter, perlu diketahui bahwa ada fenomena yang namanya BOT. Saya tidak bisa menjelaskan pengertian BOT secara teknis, namun secara awam, BOT itu adalah akun-akun robot yang diciptakan dengan tujuan tertentu. Tidak ada “kehidupan” dalam akun tersebut, namanya juga robot, hanya melakukan sebuah tindakan sesuai program yg dibuat. Jadi, menurut saya, buat apa punya 3000 follower tapi sebagian besar adalah BOT? Itulah kenapa kemudian saya lebih mementingkan respon/engagement daripada follower, karena ini gambaran nyata sebuah jalinan sosial yang terjadi.
Namun kembali lagi, yg lebih ideal adalah follower banyak dengan jumlah respon yang sama banyaknya. Tapi, bukankah kondisi ideal itu adalah sebuah ilusi? *halah*
6. Poin terpenting pada sebuah kampanye online tetap saja pada strateginya. Baik itu strategi pemilihan buzzer, maupun strategi dalam menjalankan kampanye tersebut. Semakin kreatip dan fresh, maka akan semakin dapat menarik perhatian. Pemilihan buzzer ok, tapi strategi tidak ok, maka hasil yang diinginkan tidak akan maksimal.
Begitulah….
Sebenarnya masih banyak sekali yang harus saya tulisankan, tapi sangatlah tidak bijak jika saya menuliskan semuanya dalam satu artikel. Masih ada beberapa topik bahasan yang terkait dengan hal ini yang bisa saya tuliskan menjadi beberapa artikel berdasarkan pengalaman saya main-main di dunia kerja yang masih baru ini. Dunia kerja yang masih dinamis, karena akan banyak improvisasi untuk mencapai hasil yang mendekati ideal, dunia yang bahkan kata buzzer sendiri artinya belum masuk dalam daftar KBBI kita.
salam nge buzz,
-wiwikwae-
Catatan : Yang saya tulis di atas adalah berdasarkan pengalaman selama lebih dari 3 tahun menekuni kegiatan ini. Salah dan kurangnya saya mohon maaf :)
*foto diambil dari beebuzz
wah gak nyangka, juragan baskom ternyata…. :)
tapi saya suka sekali dengan artikel ini. mencerahkan….
-dbu-
Wah mbak wiwikwae memang cihuy..
Ujung-ujungnya memilih buzzer itu ya manual kok. Klout dan jumlah follower boleh jadi pertimbangan, tapi tetap saja lebih sreg kalau dipantau manual terlebih dahulu.
Ada seleb yg followernya ratusan ribu, tapi setiap kali ngetweet yg reply hampir gak ada. Ya karena memang tweetnya mungkin agak2 sampah. Moso iya seleb kayak gini mau jadi buzzer? Patokan jumlah follower memang gak saklek absolut menentukan pemilihan buzzer.
Cara terbaik memilih buzzer ya manual. Plus feeling. Feeling kalau orang yang akan dipilih jadi buzzer ini berpotensi cihuy. #iniapasih
wiiih manteb banget kalo mamah udah ngeluarin elmunya! awas baskomnya digondol maling, ntar susah mau menerawang time line :)) eh, boleh ikut masuk list nggak mah?
Artikel Mama baskom mampu menahan saya membaca hingga akhir cerita. Tapi saya lebih sreg dgn nama Mama Loreng! Btw, pertimbangan klout juga sakti lho. Sy pernah melihat kesaktiannya, seseorang dgn klout tinggi mampu menggondol iPad2… Hehehe…
mencerahkan… saya pengen jadi buzzer :) Mau ku-buzz? :)
informasi baru nih…
makasih mbak wiwik
@DV : emang kamu bisa nge-buzz? *ditampol*
@pitra : betul! Intuisi berperan penting dalam hal ini :)
@sabai : *langsung masukkin list*
@cordiaz : Kalo soal bisa menggondol iPad, sptnya bukan karena Klout, mas. Tapi Faktor Keberuntungan :))
@ Donnybu & honeylizious : makassih
Wah, ilmumu mantab tenan, Mah. Pengaruh baskom lurik ini mesti :mrgreen:
Setuju sama intuisi, setuju juga sama yang disampein sama Kakak Pitra tentang jumlah follower dan klout score, ndak absolut..
@devie : makasih, dev… intuisi menurutku lebih dominan menentukan sih, dibantu sama klout tentunya :)
efektivitas buzzer ini bisa dipake bwt cari jodoh nda mah? #mlipir #dikeplak
Suangar mbak Wiwikwae ini.. bener juga tentang respon itu.. lebih asyik memilih buzzer yang banyak dapat mention balik setiap tweetnya daripada buzzer dengan follower banyak tapi gak ada respon balik..
@mbitmbot : kasih tahu ga ya…
@haqqi : follower banyak juga perlu sih… tapi mention lebih perlu lagi *mbulet
*manggut manggut* jd kapan kie ilmunya dishare ke RF ?!?!? *goyangin baskom*
@didut : atur aja lah bos.. saya mah ikut wae :))) *keplak didut*
uhuk..perlu dibikin buku mbak..
pengalaman 3 tahun bukan waktu yang singkat..wekekeke
diriku belum pernah sekali pun jadi buzzer ma.. :'( #malahcurhat
@anno : iya nih, sepertinya perlu bikin buku… buku nikah dulu aja kali ya… :))
@io : dicatat namanya io
tante wiwik folbek dong… *goyangin baskom
Jadi kapan mamah ngajar social media di @AkberSMG
Terima kasih atas pencerahannya. Ada yang menghubungiku dan menanyakan rate per tweet-ku berapa karena dia mau mengadakan acara online dan butuh seseorang untuk nge-tweet. Aku heran kok dihubungi padahal followerku ga banyak-banyak amat. Cari punya cari informasi, sampailah aku di sini.
Sekali lagi, makasih :D