Bulan Maret tahun lalu, saya dan beberapa teman Blogger Loenpia mengunjungi tempat ini. Saat itu merupakan kunjungan yang tidak direncanakan. Kami berlima dengan mengendarai mobil, menyusuri jalanan tanpa rencana pasti mau ke mana. Hingga akhirnya terdamparlah kami di Garut. Mengingat kala itu tidak ada niatan mengunjungi kota ini, maka kamipun hanya mengandalkan “tanya orang yang ditemui” untuk mengetahui tempat-tempat mana saja yang musti dikunjungi ketika berwisata ke Kota Garut. Salah satunya disarankan ke Situ Cangkuang.
Sama seperti di tahun kemarin, pas awal tahun pula, saya mengunjungi kota ini untuk kali kedua. Namun kunjungan yang kedua ini penuh dengn rencana, semua tersusun dengan rapi tempat-tempat mana saja yang hendak didatangi. Salah satunya tentu saja Situ Cangkuang.
Bicara tentang Situ Cangkuang ingatan saya langsung tertuju ke Kampung Pulo. Sebuah kampung adat yang posisinya berada di tengah Situ tersebut. Kampung yang awal kedatangan saya di tahun lalu langsung membuat saya terpana dan terpesona. Berikut cerita tentang keistimewaan Kampung Pulo yang saat ini sudah masuk sebagai Cagar Budaya yang wajib dilindungi.
Kampung Pulo, letaknya di tengah Candi Cangkuang, sebuah kampung dengan jumlah rumah hanya 6 unit ditambah 1 masjid. Nama Kampung Pulo sendiri dilekatkan karena letaknya berada di sebuah pulau kecil di tengah Situ (Danau) Cangkuang. Kampung ini merupakan kampung adat karena warganya masih mempertahankan adat-istiadat dan tatali piranti karuhun dalam kehidupan mereka, termasuk model bangunan rumah yang dihuni.
Yang menarik dari Kampung Pulo adalah, jumlah rumah yang tidak pernah dan tidak boleh berubah. Sejak jaman pendahulu mereka yang juga merupakan pendiri kampung ini, Embah Dalem Arif Muhammad, jumlahnya masih tetap sama, 6 unit rumah dan 1 masjid. Selain itu, jumlah warga kampung ini tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga yang pemiliknya mengikuti garis keturunan pihak perempuan. Jika kemudian ada warga yang sudah beranjak dewasa dan menikah, maka sesuai ketentuan adat, pemuda tersebut paling lambat dua minggu dari hari pernikahannya harus segera keluar dari Kampung Pulo untuk membina rumah tangganya di luar kampung tersebut. Sebaliknya, jika ada warga Kampung Pulo yang meninggal dunia, maka sanak-saudaranya yang berada di luar kampung boleh masuk kembali dengan terlebih dahulu melalui seleksi yang dilakukan oleh Ketua Adat.


Keunikan yang lain adalah bentuk bangunannya. Semua bangunan bentuknya sama. yakni memanjang atau jolopong, megnarah ke Utara (3 rumah) dan ke Selatan (3 rumah), kemudian satu banguan masjid berada tepat di ujungnya. Perbedaan yang mencolok hanya terlihat pada atap bangunan. Atap bangunan rumah milik ketua adat menggunakan ijuk, sementara atap bangunan rumah milik warga menggunakan genting.


Secara umum, kampung ini terlihat terawat, bersih dan asri. Dengan sikap warganya yang ramah kepada para pengunjung. Jika punya waktu, datanglah ke tempat ini. Di samping bisa melihat kampung adat yang unik, juga bisa melihat Candi Cangkuang, sebuah Candi Hindu pertama kali yang ditemukan di Tataran Sunda, yang menyimpan sejarah dan misteri tentang peninggalan siapakah sebenrnya candi ini. Untuk menuju ke tempat ini, baik ke Kampung Pulo maupun ke Candi Cangkuang (keduanya berada di satu lokasi), kita harus menyeberangi Situ (Danau) Cangkuang menggunakan rakit yang didesain apik dan instagram-able.
Jadi, kapan kita ke sana?
Salam,
Wiwikwae
ps: Kegiatan kunjungan kali ini merupakan bagian dari undangan Kementrian Pariwisata untuk menghadiri acara Ulang Tahun Kota Garut “Mapag Abdi Kadigjayaan” ke 204 Tahun.
Modal tanya-tanya + berani nyasar #PiknikAjaDulu
yoi yoi. perlu diulang!
ini ada listrik disana?
Ada, mas..
Garut mah wajib mampir ke Goah Gumelar, tempat produksi cokelat Chocodot.
Agendakan, ah ke Situ Cangkuang :D
Kemarin gak sempet mampir, padahal cuma sebelahan sama Goah Gumelar :))
Bulan maret, tahun lalu …
dapa niyyy…. :))