Kemarin.
Saya dan beberapa teman membahas tentang lagu Firasat. Kami sepakat bahwa lagu ini memang paling enak dinyanyikan oleh Marcell, si pemilik lagu. Namun bukan berarti versi Dewi Lestari–si pencipta lagu–dan versi Raisa tidak enak didengarkan. Lagu Firasat, bahkan dinyanyikan keroyokan oleh pengunjung acara musik panggungpun tetap enak didengarkan. Dewi Lestari si pencipta lagu, pasti sedang dalam kondisi yang sangat–baik sangat buruk maupun sangat baik–ketika menciptakan lagu ini. Lirik dan lagunya sangat apik, bisa mewakili perasaan orang-orang yang sedang menunggu, dalam nuansa yang syahdu merayu.
Dulu, ketika awal lagu Firasat muncul (sekitar tahun 2004), saya menggunakan penggalan lirik lagu ini untuk menggoda pasangan. Ketika ia sedang mendapat jatah dinas luar kota, saya selalu iseng mengirimkan penggalan lirik lagu ini melalui layanan pesan singkat, “Cepat pulaang.. Cepat kembaliii… jangan pergi lagi” Dan kemudian bisa ditebak, Lelaki saya akan langsung menelepon mengatakan, “Ada apa? Kangen ya?” atau “Dih, sukanya gitu deh. Bikin nggak konsen kerja.” Atau “Nyusul sini, menikmati pinggiran Sungai Musi di malam hari.” Setelahnya, saya pasti akan semakin merindukannya, kemudian akan memutar lagu ini berulang kali demi untuk memberi makan sisi romantisme hati.
Beberapa waktu kemudian, ketika hubungan saya dengan si pasangan telah berakhir, saya masih menggunakan lagu ini hanya untuk bersenandung sembari menikmati suasana malam hari. Saya menyukai memandang langit dalam pekat malam. Dan ketika ada bintang maupun bulan menghiasi malam, maka otomatis di kepala saya terngiang lirik lagu Firasat, “Kemarin, ku lihat awan membentuk wajahmu / Desau angin meniupkan namamu / tubuhku terpaku / semalam … / ” Bukan buat siapa-siapa. Lagu ini memang sudah mempengaruhi otak saya, karena liriknya seolah diciptakan sebagai soundtrack malam dan kesendirian. Sesuatu yang sangat saya suka.
Tapi benarkah ketika lagu Firasat ini tiba-tiba terngiang di kepala hanya sebuah kebetulan belaka? Atau memang ia sebuah pertanda? Entahlah. Yang jelas, pada suatu siang ketika hati sedang dalam kondisi resah yang mendalam, tiba-tiba lagu ini terputar di radio, versinya Raisa. Dan entah kenapa, jari saya memencet nomor telepon seseorang. Seseorang yang lebih dari setengah tahun ini memiliki hubungan yang berjarak jauh dengan saya. Jarak yang saya–akibat ulah kami berdua–buat untuknya.
“Halo, sore ini ada acara?” Suara saya agak canggung menanyakan hal ini.
“Uhm.. ada sih. Ketemuan dengan seorang kawan.”
“Oh, Ok. Maybe next time.”
“Eh, tapi cuma sampe jam 6 sore. Setelah itu tidak ada acara.”
Dan saya tahu, ia menginginkan untuk ketemu. Maka, saya langsung membuatkan janji waktu dan tempat bertemu. Tentu saja hari itu juga, akhirnya kami bertemu. Suasana di awal agak sedikit canggung, namun sebagai dua orang dewasa, kami cepat mengatasinya.
“Ini, buat kamu.” Ia menyodorkan sebuah kado.
“Kado? Buat apa?” Pertanyaan bodoh yang keluar dari perasaan canggung sekaligus haru. Ia masih saja seperti yang dulu.
“Kado ultah. Happy belated, belated, belated birthday.”
Hahahah, ngarang! Ultah saya sudah lewat dua bulan lebih.
Ia masih terus menggoda saya, menggoda rasa malu akibat haru yang ia timbulkan dengan kado tersebut. Biasanya, saya akan langsung menenggelamkan wajah merah saya di ketiaknya, tempat favorit saya. Atau menenggelamkan wajah di perutnya yang semakin membuncit. Namun kali ini tak saya lakukan, karena tindakan tersebut sudah tak boleh dilakukan. Tapi kenapa ia terus menggoda saya? Tapi kenapa harus ada kado dalam pertemuan yang biasa saja? Tapi marilah belajar untuk tidak meributkan hal-hal tak perlu. Toh intinya tetap sama, dia ingin memamerkan perhatiannya, dan saya menyukainya. Selesai?
Sepertinya belum.
Dalam kondisi lazim terjadi, saya tak akan pernah menghubungi seseorang yang pada suatu masa telah saya putuskan untuk menjauh darinya. Dan harusnya setelah pertengkaran panjang dan melelahkan, dia tak perlu bersikap manis terhadap saya. Tapi, skenario hidup terkadang suka keluar dari pakem. Aneh. Weird. Uber Weird. Yang bisa saya lakukan cuma berhenti berharap, karena terkadang harapan bisa menenggelamkan.
Kami masih bertemu lagi, masih dengan keakraban yang sama. Namun saya tak lagi ingin memusingkan segala pertanda, karena seperti lirik Lagunya Marcell;
Firasat ini, rasa rindukah ataukah tanda bahaya
Aku tak peduli, ku terus berlari
Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi
aku pun sadari, engkaulah firasat hati / kau tak kan kembali lagi.
Rintik hujan mulai mengetuk-ngetuk jendela kamar, saya memandang sebuah ketidaklaziman lain. Hujan di Bulan Juni, tak seharusnya datang setiap hari.
Salam,
-Wiwik-
Mempunyai dua orang anak cewek yg lg lucu2nya sama mamah mereka itu udah bikin lewat dr perasaan dan cerita2 yg begini. Cumak abis mbaca artikel ini kok ya jadi inget masa2 itu. Ceritanya beda, rasanya sama. Ora enak Jan e, ning ngangeni. Rule paling penting, dinikmati boleh, diulang jgn. Ya tak mbak e? Hihihi..
Kian: betul, mbakyu. Esensi kenangan memang sebaiknya cukup dikenang saja :D
Mesranyaaaa…
Duh apik banget tulisane, aku merinding loh, sambil melihat foto di depanku.. foto kami berdua.. saat sedang akrab-akrabnya dulu.. ketika seminggu sebelumnya aku mengungkapkan rasaku padanya, dan dia cuma tersenyum gak menjawab. Mungkin malu..
Tapi di foto kami berdua itu, aku tahu jawaban dia saat itu. Kami melebur dalam keceriaan. Tanpa benci.
Namun aku terlambat menyadarinya. Selama ini aku merasa bertepuk sebelah tangan. Ketika benci merambati seluruh tubuh, cacian dan hinaan aku kerahkan. Dan sekarang hanya penyesalan yg tertinggal..
Loh, mbak, kok dadi koyok nulis cerpen ngene ya???
ndop : hahah… ora popo, sing penting hatimu lego.
Njuk saiki piye kelanjutane? ora difollow up meneh?
Dalam kondisi seperti itu, aku lebih suka mendengarkan lagu firasat dari lengkingan suaramu, mamak. :D
zia: halaaah… ini lagu slow, mana bisa dibuat melengking? kecuali nyanyinya sambil kesetrum mic :))
aku belum pernh denger maknyai nyanyi .. :|
om warm: kapan-kapan kita karaoke bareng ya, om. Tak nyanyiin sampe jeleh :))
Wuih keren mbak tulisannya!
Bahasanya curhat tapi kesannya cerpen. Sampek mbrebes rasane ati baca tulisan ini..
Yuni: Mungkin karena ditulis dengan hati, mbak :D