Ia berlari, menyusul waktu supaya tak terlambat untuk bertemu. Namun sesampainya di tempat yang telah ditentukan, ia tak melihat sosok yang barusan mengiriminya pesan “Aku sudah hampir sampai, mas. Don’t make me wait for so long, I’m afraid to be alone.” Ia mulai mencari, melihat sekitar berharap menemukan sosok yang sudah ia kenal tersebut.
Tak ada.
Ia masih mencoba mencari, dan beberapa saat kemudian, teleponnya berdering;
“Mas, dimana? Aku sudah sampai.”
“Aku di sini, menunggumu. Aku melihatmu.”
Perjumpaan yang tak direncanakan. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke stasiun. Tak biasanya stasiun ini terlihat sepi. Tidak benar-benar sepi sih, namun geliat aktifitas malam ini tak seramai biasanya. Mereka menyusuri jalanan menuju loket penjualan karcis, membeli karcis, dan berjalan beriringan menuju ke lantai dua.
Ini kali pertama ia mengajak si perempuan naik kereta. Terlihat perempuan ini begitu menikmati, menikmati ceritanya, menikmati suasana sekitar peron, menikmati entahlah apalagi. Yang jelas, ada senyum dan tatap senang tergambar di wajah cantiknya. Mungkin ia terkesan dengan pengalaman pertama berkereta di malam hari ini. Tidak lama, kereta yang mereka tunggu datang juga. Orang-orang yang tadinya duduk santai, serentak bangkit dan tergesa-gesa mencari gerbong yang masih kosong. Perempuan sepertinya masih belum bisa menguasai keadaan, alih-alih ikutan mencari gerbong seperti yang lain, ia malah terlihat bingung melihat kerumunan orang yang entahlah datangnya darimana, tiba-tiba jadi begitu banyak memenuhi hampir setiap pintu masuk gerbong. Diraihnya tangan si perempuan, digandengnya menuju gerbong yang tak terlalu padat. Ia khawatir si perempuan hilang dan menjauh dari sisinya gara-gara desakan para penumpang kereta malam ini. Tertib, hal ini yang sepertinya belum dimiliki para penumpang kendaraan umum di negara ini. Semua ingin cepat masuk, semua ingin cepat keluar.
“Mungkin karena kultur kita dalam berkendara umum belum mature, mas.”
Kata si perempuan. Bisa jadi sih, melihat betapa egoisnya para penumpang kendaraan umum yang senantiasa ingin selalu jadi yang pertama, hingga terkadang tak mempedulikan yang lain; yang penting bisa masuk duluan, tak peduli kemudian menghalangi jalan yang mau keluar. Toh nanti yang hendak keluar pasti akan dapat jalan juga.
Lima belas menit berlalu, dan kereta telah memasuki stasiun terakhir. Tak hendak terburu-buru, mereka membiarkan yang lain turun duluan. Toh jarak waktu antara yang duluan dan yang belakangan tidaklah signifikan. Andai semua orang berlaku hal yang sama, niscaya tak perlu ada aksi dorong-dorongan dan himpit-himpitan. Ia raih tangan si perempuan, membantunya turun dari kereta, dan memberikan sinyal kepada sekitar bahwa perempuan ini bersamanya, jadi jangan coba-coba untuk mengganggunya. Di stasiun, selalu ada orang jahat mencari kelengahan yang lain untuk dapat dijadikan korban aksi jahat mereka.
“Bangungannya bagus. Aku menyukai melihat bangunan-bangunan tua, mas.”
“Iya, bangunan ini termasuk cagar budaya yang harus dilindungi. Dan Stasiun ini adalah stasiun dengan peron terbanyak. Ada sekitar 12 peron.”
“Boleh duduk di sini dulu? Aku suka melihat aktifitas orang-orang di stasiun maupun di terminal. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada perjumpaan, ada pula perpisahan. Ada raut gembira, ada pula yang terlihat sedih. Ada yang rempong dengan bawaan banyak, ada yang melenggang santai. Refleksi dari kehidupan yang kita jalani.”
Ia hanya bisa mengangguk. Mencarikan tempat duduk yang nyaman, terdiam sesaat menikmati suasana sekitar, dan kemudian mereka berdua sudah asik dengan aneka macam pembicaraan. Tidak ada yang penting dengan pembicaraan tersebut. Hampir sebagian dari ceritanya adalah karangan, hanya untuk menghilangkan sepi dan untuk menciptakan obrolan. Entahlah, ia menyukai bercakap-cakap seperti ini dengan si perempuan.
“Sudah malam. Saatnya kita pulang.”
“Kamu menyukai perjalanan ini?”
“Oh, tentu saja. Jika tidak, aku tak akan mengorbankan waktu istirahatku hanya untuk melakukan perjalanan yang tak ada tujuannya.”
“Tapi, bukankah yang menarik dari perjalanan malam ini karena kita tak tahu tujuannya?”
“Tepat! Aku menyukai perjalanan yang tak direncana, perjalanan yang tujuannya ditentukan kemudian, dan perjalanan berdua denganmu….”
Langit malam mendadak penuh gemintang. Ia tak hendak menimpali kalimat si perempuan. Ia hanya bisa tersenyum…
Perjalanan yang tak direncanakan yang menimbulkan kesan mendalam tak pernah terlupakan :)