Senja di sebuah restoran,
Lelaki: Ini buat kamu.
Rembulan: Buat aku? Apa ini?
Mata Rembulan berbinar senang, ada semu merah di pipinya. Dibukanya bingkisan tersebut secara perlahan. Rembulan tertawa geli, malu, ketika ia kesusahan membuka pengait ornamen pada bungkus kado tersebut. Grogi, itu penyebabnya. Dompet warna coklat tergenggam dalam tangan Rembulan. Ekspresi wajahnya terlihat gembira sekali memegang hadiah tersebut. Bukan, bukan karena dompet tersebut terlihat bagus, namun ia tersentuh dengan perhatian yang diberikan si Lelaki. Ia tak peduli apakah ia menyukai dompet tersebut atau tidak. Ia bahkan tak peduli merek apakah yang tertempel di dompet tersebut. Ia bahagia, karena membayangkan bahwa Lelaki tersebut pasti telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk sekedar menemukan kado apa yang pantas untuk diberikan kepadanya. Si Lelaki pasti telah memikirkan hal tersebut setiap senggang waktunya hingga kemudian menemukan dompet ini untuk dapat dihadiahkan kepadanya. Rembulan merasakan pengorbanan Lelaki dalam dompet yang ia dekap di dadanya itu.
Lelaki tersebut memandangi Rembulan dengan senyum senang. Ada rasa haru dan bahagia menyeruak dalam dadanya. Ingin sekali ia memeluk Rembulan, namun ia takut.
Rembulan: Tapi kenapa musti takut?
Lelaki: Hidupku penuh dengan kesedihan, aku tak mau kesedihanku menularimu melalui pelukanku.
Meleleh perasaan Rembulan. Dipeluknya Lelaki dengan kencang, tak ia pedulikan apakah pelukannya disambut oleh si Lelaki atau tidak. Ia terus memeluk sembari berucap dalam hati, “Aku akan membantumu mengobati kesedihan itu.”
Waktu berselang, mereka semakin akrab dan dekat. Rembulan semakin sering mendapatkan bingkisan kejutan dari Lelaki. Hanya dalam bentuk bingkisan-bingkisan tersebut Rembulan bisa merasakan bahwa Lelaki menyukainya. Selebihnya, perasaan si Lelaki tak pernah ia rasakan dalam bentuk lain, tidak juga dalam bentuk perhatian.
Perhatian?
Rembulan tak ingat apakah Lelaki pernah memberikan perhatian lebih padanya. Telepon yang dilakukan Lelaki padanya dalam seminggu bisa dihitung dengan satu dua jari saja. Itu pun tak lama, sekedar mengabarkan sesuatu. Selebihnya Lelaki tak pernah menelponnya hanya sekedar untuk menanyakan kabar apakah Rembulan dalam kondisi baik-baik saja atau tidak. Atau menelponnya untuk bercakap-cakap tak penting sekedar merekatkan perasaan. Tidak pernah. Lelaki tak pernah melakukan itu pada Rembulan. Namun Rembulan tak mempermasalahkannya. Sepanjang masih ada waktu untuk dapat bertemu berdua dengan Lelaki, meski cuma 2-3 tiga jam, Rembulan sudah merasa cukup. Ia tahu, kehadirannya dalam hidup Lelaki hanya untuk mengobati kesedihan si Lelaki.
Hingga suatu kali,
Lelaki: Aku ingin kamu menjauh dariku.
Rembulan: Kenapa? Apakah kehadiranku sudah tak menceriakan harimu?
Lelaki: Iya. Aku menginginkan yang lain untuk membuatku ceria.
Meski sedih, Rembulan mengabulkan permintaan tersebut tanpa banyak bertanya. Ia harus memegang janjinya, janji yang pernah ia ucapkan dalam hati. Maka menjauhlah Rembulan dari kehidupan si Lelaki. Namun, baru lima langkah Rembulan menjauh, si Lelaki mencegahnya.
Lelaki: Jangan pergi.
Rembulan: Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan?
Lelaki: Aku tak tahu, apakah aku benar-benar menginginkanmu pergi atau tidak. Yang jelas, aku merasa sedih kehilanganmu. Kembalilah, mari kita ulang cerianya hari kemarin bersama lagi.
Tanpa banyak bertanya, Rembulan memenuhi permintaan tersebut. Ia tak peduli segala macam alasan. Ia hanya peduli, bahwa kembali akan mengobati kesedihan Lelaki. Janji hati harus ditepati. Maka mereka menjalani hari bersama lagi, tertawa lagi, berselisih paham lagi, mencinta lagi, sedih lagi, dan:
Lelaki: Aku ingin kamu menjauh dariku.
Rembulan: Lagi? Kenapa?
Lelaki: Aku ingin mengobati kesedihanku bersama yang lain. Aku bosan denganmu.
Untuk kesekian kalinya, Lelaki senantiasa mengutarakan keinginannya supaya Rembulan menjauh. Namun ketika Rembulan telah pergi, tidak begitu jauh, Lelaki itu selalu datang lagi, dan memintanya untuk kembali. Entah sudah berapa kali hal ini terjadi. Rembulan tak kuat lagi. Ia tak peduli dengan janji yang harus ia tepati. Ia benar-benar ingin meninggalkan Lelaki tanpa hendak kembali lagi. Ia tak mau lagi terjebak dalam kesedihan si Lelaki. Namun bisakah ia pergi meninggalkan Lelaki sendiri dengan kondisi seperti itu? Tentu tidak. Maka untuk memudahkan langkahnya, di suatu malam, dalam sujudnya, Rembulan berdoa:
“Ambil ingatan saya tentangnya, Tuhan. Tentang janji saya pada diri sendiri, sehingga saya tak perlu merasa sedih ketika melihat ia sedih. Tak perlu merasa tersakiti ketika ia menyakiti. Tak perlu merasa dicintai ketika melihat bingkisan-bingkisan yang ia berikan. Ambil semua ingatan ini, Tuhan.”
Dan Tuhan mengabulkan doanya.
Alzheimer merenggut ingatan Rembulan. Rembulan merasa terlahir kembali. Setiap hari, di panti rehabilitasi tempat ia dirawat, ia menikmati hari-harinya dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan. Menyusuri jalan setapak yang menuju ke kolam ikan di ujung bangunan, siang hari diisi dengan membaca buku dan mengisi TTS di ruang baca, dan sore hari di teras kamar selalu ia habiskan dengan meminum secangkir teh tubruk kesukaannya.
Sore hari adalah hari dimana Rembulan akan terlihat sangat bahagia. Karena ada seseorang yang senantiasa menemaninya menyesap teh, menceritakan banyak hal lucu, dan memberikannya hadiah, Dompet Coklat. Hanya barang ini yang bisa membuat matanya berbinar senang. Hadiah lain yang pernah diberikan tak pernah menimbulkan binar ceria dalam mata Rembulan, hanya seulas senyum keceriaan saja. Maka, dompet tersebut harus dibungkus ulang setiap harinya untuk membuat Rembulan terlihat ceria. Iya, dibungkus ulang. Rembulan tak pernah ingat lagi apa yang telah terjadi ketika ia bangun tidur keesokan harinya. Selalu begitu. Ia bahkan tak ingat siapakah yang senantiasa menemani sore harinya itu.
“Buat Aku? Apa ini?”
Kalimat yang setiap hari diucapkan Rembulan dengan mata berbinar-binar inilah yang bisa mengobati kesedihan Lelaki. Paling tidak, ada bagian dari dirinya yang masih mampu membuat Rembulan berbinar bahagia. Bingkisan berisi dompet coklat, yang akan diberikan oleh Lelaki di sela sesapan teh dan obrolan panjang menyenangkan di sore yang temaram. Lelaki tahu, ia tak pernah bisa kehilangan Rembulan. Ia hanya tak pandai mengatakannya dengan benar.
Sore beranjak senja. Keduanya sedang tertawa bahagia, menikmati cinta yang tidak semestinya. Tanpa Rembulan sadari, ia telah menepati janjinya.
Salam,
-wiwik-
ps: Didedikasikan buat pasangan2 yang tidak bisa mengekspresikan perasaan cintanya dengan benar. Jangan sampai kemudian harus menikmati cinta dengan cara yang tidak semestinya.
Menikmati cinta dengan cara yg tidak semestinya itu gimana sih?
@swastika: bisa satu semester kalo dijelaskan tentang cara yang semestinya itu, mbak :))
Mbak wiwiik ..*mewekk
berhasil membuatku mbrebes mili. sedikit mengingatkanku pada filem The Notebook.
# masih ada cinta to untukku ?
* ngunyah nasor pak karmin
ingat-ingat pesen mamah…
@icit : hahahahaha… inget aje :p
jadiin cerpen. kirim ke kompas. asal ada unsur senja-nya, pasti dimuat.
Pengen meluk Rembulan…
@wiwin: Simon dan Senja di Bukit Munhil?
di Bukit Tilekono…
Mengapa Tuhan mengabulkan doa Rembulan? Mengapa Dia tidak memberikan yg lebih baik untuk Rembulan?
aww co cwit. bagus sayang rada mbosenin awalnya. tapi ending nya top banggat ! suka !
@mas cor: kenapa mas cor tanya seperti itu? Kenapa nggak tanya yg lain saja? Kan jadi bikin galau :’)
@yahya: sebuah kehormatan kamu komen di sini :))
pas di awal, kirain soal tarik-ulur layangan.. eh, hubungan.
taunya, endingnya.. reminds me of “The Notebook” movie
Penyakit si Rembulan ini sedikit mirip 50 first dates. Semoga ini gak terinspirasi dari orang terdekat. *eh*
Belum pernah nonton film 50 first dates, Chika. Kalo terinspirasi orang terdekat sptnya iya. eh,
kok merasa lg baca kisah sendiri ya *GR*
Bisa jadi ini memang kisahmu, git..
Mripatku kok mbrabak abang yo, Mbak :mrgreen:
Btw, semacam cerita di Fifty First Date, ya?
Gara-gara komenmu, njuk aku membaca ulang dan melu2 mbrabak abang, dev :(
meski dengan cara yang tidak semestinya, cinta tetap nikmat. Njuk bebek tadi siang gimana ceritanya? aku sebel :|
emaksute…aku sebel batal ikut gara-gara…ah mbuh *usrek-usrek kontrak kerja*
Apakah dari kisah nyata?
Ceritanya sedih :|
Slamlekummmm….
Ini kisah siapa kakak… sedih banget… :(
Ini bukan cerita tentang….ah sudahlah :mrgreen:
bacanya miris mbak,,
ceritanya bagus :)