Terang bulan.
Jalanan rame sekali. Pesta rakyat kali ini dilangsungkan di sepanjang jalan protokoler. Anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan yang sudah tua terlihat menikmati perayaan tersebut. Ceria, tertawa, bahagia. Aku suka mengamati keceriaan seperti ini. Terlihat sederhana dan apa adanya.
Di pinggir jalan, di atas Buk -semacam pembatas dari semen yang posisinya lebih tinggi dari trotoar jalan- kami mulai membuka bekal. Cuma minuman dan makanan ringan yang kami beli di 7-11 terdekat.
Terdengar suara kresek-kresek dari kantong plastik yang dirogoh oleh tangan-tangan secara bergantian. Mencari apa yang diinginkan. Ia mengambil botol jus jambu, menyerahkannya kepadaku dengan tutup botol yang telah ia bukakan sekalian.
+ Thanks.
Aku menerima botol tersebut, meneguknya sedikit, dan kemudian asik melihat keramaian kembali. Melihat lalu lalang orang, melihat Bulan yang bersinar terang, dan melihat malam yang seolah-olah diselimuti oleh kebahagiaan. Alam memberkati keceriaan malam ini, untuk kota yang semakin terlihat tak menarik buatku.
Ceessss…… Terdengar bunyi dari kaleng bir yang ia buka.
+ Selamat Ulang Tahun Jakarta!
– Selamat Ulang Tahun Jakarta!
Dan kami meneguk minuman masing-masing. Terdiam. Menikmati suasana di sekitar yang semakin ceria.
+ Bulannya cantik.
– Iya, sekarang tanggal 15 ya?
+ Entahlah… aku nggak begitu hapal dengan penanggalan berbasis bulan. Kadang suka nggak tahu bedanya mana yang benar-benar Bulan Purnama mana yang cuma sekedar Bulan berbentuk bundar namun belum sempurna.
– Sama sih…. Aku juga nggak tahu. Tapi bukankah esensi dari kehadiran Bulan tidak pada bentuknya? Bulan sabit, yang muncul di tengah langit gelap dan kelam, akan memberikan makna tersendiri. Seperti seulas senyum di wajah yang muram.
Aku menengok ke arahnya, “Mulai deh. Mellow.” Ku tinju lengannya yang terbalut kemeja lengan panjang yang terlipat ke atas tersebut.
Aku selalu suka melihat laki-laki dengan gaya berpakaian seperti ini. Terlihat dewasa, namun tetap casual.
“Andi! dibawa sama Andi Kerak Telornya. Hahahaha… Ayo ke bagian sana, kayaknya lebih rame ntuh!”
Beberapa remaja terlihat berlarian, becanda dengan kawan-kawan mereka. Melintasi kami yang masih asyik melihat keramaian jalan.
Hening. Aku sibuk mengunyah cemilan, ia sibuk menggoyang-goyangkan kaleng birnya.
– Andai saja ia bisa sepertimu…
+ Hah? Maksudnya?
– Forget it.
+ Oh, C’mon. Are you OK?
– Nope. I’m just getting tired.
+ Tired?
Dia terlihat menarik nafas panjang, menghembuskan pelan, sembari tangannya tetap menggoyang-goyangkan kaleng bir yang sudah habis tersebut. Ku ambil kaleng bir dari tangannya, dan menggantinya dengan yang baru.
– Thanks…
+ Sori, nggak aku bukain sekalian, takut nyemprot.
+ Macam selang aja, nyemprot.. hihihi…
Yeah, sekedar usaha mencairkan kebekuan.
– Hubunganku dengan Lila semakin hari semakin tidak terlihat arahnya. Ia seperti terlihat nyaman karena aku selalu ada di sampingnya setiap saat ia butuh untuk ditemani. That’s all. Selebihnya dia tak peduli. Dia tak peduli apakah perlu untuk kami pergi menikmati hari, meningkatkan intimasi dengan saling berbagi informasi masing-masing kami, melakukan tindakan-tindakan sederhana macam seperti yang sekarang kita lakukan, bangun di tempat yang berbeda sembari menikmati pagi, atau… yah, hal-hal bodoh lainnya, yang bisa kami lakukan berdua untuk menciptakan tawa. Yah…. Gitu lah….
Tatapan matanya terlihat sendu.
+ Kamu sudah pernah mengkomunikasikannya sama Lila tentang keinginanmu tersebut?
– Secara langsung belum. Namun beberapa ajakanku menuju ke situ selalu ditolaknya dengan alasan-alasan yang menurutku terlalu dibuat-buat.
+ Dibuat-buat?
– Sebelum aku menelponmu dengan kondisi yang seolah-olah aku mau bunuh diri besok pagi itu, aku sudah mengajaknya. Namun ia menolak, alasannya ia tak suka keramaian. Ia mau ketemu, tapi di tempat lain.
– Pengen ketawa rasanya denger alasan itu. Dia bilang tak suka keramaian, tapi ia gemar nonton konser musik yang kondisinya lebih sumpek dari keramaian yang sekarang kita nikmati. At least ini ruang terbuka, luas, bebas.
– Andai saja ia tahu, bahwa tujuanku mengajak dia ke sini adalah untuk menikmati malam purnama, berdua, melakukan hal-hal biasa, ngobrol ringan, ketawa, Yah… hal-hal sederhana macam gini lah.
Ia masih terus nyerocos, membuang semua kekecewaannya. Aku biarkan saja. Tidak semua harus ditanggapi, mungkin dia hanya ingin didengarkan. Aku menggoyang-goyangkan botol jus jambu ini. Ah… kegiatan nggak jelas seperti ini saja bisa menular ya….
Terdiam, dengan pikiran masing-masing. Bulan masih terang benderang, suasana sekitar masih terlihat rame. Namun hati dan pikiran kami sedang sibuk sendiri.
– Aku ingin memutuskan hubungan dengan Lila.
+ Hah? Hanya karena masalah seperti itu? Itu kan hanya masalah “lack of communication”.
– Hanya masalah seperti itu? Bukan itu saja, masih banyak yang lainnya. Dia itu nggak begini, nggak begitu. Tak bisa seperti ini, seperti itu, bla.. bla.. bla….”
Ia mulai mengoceh panjang lebar lagi. Lebih emosi. Dan volume sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Naik sekitar 1 atau 1,5 strip. Aku tetap mencoba untuk tenang, mendengarkan, sembari masih ketularan menggoyang-goyangkan botol di tangan.
+ Sudah lega?
– Sori, jadi agak sedikit emosi… tapi tidak emosi sama kamu lho. Aku emosi terhadap apa yang aku pendam selama ini, yang tak bisa tersampaikan kepadanya.
+ I know….
+ Tahu nggak, saat kamu menuntut ini itu, membandingan hal ini dengan hal itu, pernahkah kamu bersyukur telah bisa dapatkan dia? Pernahkan kamu berpikir, dari sekian banyak orang di luar sana, yang mungkin saja lebih baik daripada kamu, lebih segalanya daripada kamu, tapi dia tetap memilihmu? Memilihmu dengan segala kekuranganmu itu?
– Yea, memilihku. Hanya sebatas untuk koleksinya semata. Poor me…
+ Jangan begitu… jangan pernah mengasihani diri untuk keputusan yang telah kamu ambil.
+ Lagian dari mana kamu tahu kalo dia seperti yang kamu pikirkan? Komunikasi kalian saja jelek gitu. Kalian cuma saling mengira. Kamu mengira dia begini, dia mengira kamu begitu. Akhirnya, masing-masing tersesat dengan pikiran yang kalian ciptakan sendiri.
– So, What should I do?
+ Masih mencintainya?
– Yea…. Yah… kayaknya…
+ Perjuangkan. Jangan mudah menyerah, karena begitu kamu menyerah, maka selesai sudah semuanya. Pepatah bijak mengatakan, Jika kamu jatuh, bangunlah. Jika salah, perbaiki. Jika kamu menyerah, maka selesai sudah.
– Sampai kapan?
+ It’s all up to you. Sampai semampumu, sampai kamu berpikir bahwa ternyata dia tidak layak lagi untuk diperjuangkan.
– Sia-sia dong, kalo pada akhirnya tetap harus bubar juga.
+ Tidak ada yang sia-sia dalam sebuah perjuangan. Yang perlu kamu lakukan adalah Stick in your commitment and belief. Niat baik. Itu saja. Selebihnya, biarkan Tuhan yang menyelesaikannya untukmu.
Malam semakin larut, keringat dingin mulai keluar akibat dari menahan rasa sakit yang luar biasa. Asam lambung sialan ini mulai bekerja berlebihan, menggerus dinding-dinding lambung, hingga menimbulkan sakit yang luar biasa. Aku tak kuat lagi….
* Baca juga Tesserae 1 dan Tesserae 2
betul tuh kata temennya…siapa sih temennya itu? hihihihi… *peluuuukk
Masih nebak-nebak ini semi autobiografi yang difiksikan bukan ya?
*dijitak*
nganu… ini based on true story atau beneran true story ya mbak? :))
Ini semacam ceritanya…mmmm,
Ini fiksi teman-temaaan :))
Ikutan membaca …. dan sempet ikutan ultah jakarta di thamrin hehehe
Penasaran ama yg ke-4 nih…
hmm…