Sore hari, 8 Juni 2013.
Seharusnya saat ini ia menyusuri Selat Bosphorus, menikmati keindahan Kota Istambul di sepanjang selat yang memisahkan Turki bagian Eropa dan Turki bagian Asia tersebut. Atau jikapun apes, karena terkait gelombang demonstrasi besar-besaran yang sedang terjadi di sana sehingga tak memungkinkan untuk menuju ke Istambul, maka menikmati Ataturk sebagai Bandara tersibuk nomor 6 di Eropa pun tak masalah. Karena bukan ini sebenarnya poin yang ia tunggu.
Ia menunggu bisa menikmati bercakap-cakap lebih dekat dan intim dengan Tuhannya. Menyelesaikan semua masalah antara mereka berdua yang selama ini selalu mengganjal di hati kecilnya. Dan, semuapun telah ia persiapkan.
Namun sehari menjelang keberangkatan, ia mendapat kabar bahwa perjalanan tersebut tidak bisa dilanjutkan terkait urusan visa yang belum beres. Meeting pagipun digelar di salah satu ruang sang penyelenggara perjalanan. Satu persatu, peserta rombongan yang batal berangkat mengemukakan kekecewaannya. Semua berbicara. Saling melengkapi satu dengan yang lain. Kecuali ia, yang tetap duduk termenung di pojok. Mendengarkan semua percakapan dengan pikiran yang entah kemana. Sedih tak terkira. Ia merasa ditolak, merasa tak diberi kesempatan untuk menjelaskan atas perseteruan yang selama ini terjadi di dalam dirinya. Ia merasa hatinya mencelos entah ke mana.. Suatu perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan saat ia harus kehilangan 3 orang yang sangat ia cintai sekaligus itupun tak ia rasakan perasaan sedih seperti sekarang ini. Namun seperti biasa, ia tetap mencoba untuk tersenyum dan membuat senyum di antara kawan-kawannya yang juga sedang bersedih. Mencairkan suasasana.
Ia jadi ingat, seseorang pernah berkata padanya, “Kamu termasuk orang yang sulit ditebak kapan sedang benar-benar bersedih, semua terlihat baik-baik dalam pembawaanmu yang ceria. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan tidak membuatmu bersedih.”
Ah, andai kamu ada di sini…
Dan iapun memilih untuk menyendiri, menjauh dari keramaian. Menikmati kekecewaannya dalam diam. Berpikir ulang. Mencari tahu dimana letak kesalahan dalam kegagalan pemberangkatan ini. Memang secara logika, ini murni kesalahan administratif. Namun kemudian ia percaya, selalu ada alasan baik dari setiap hal tidak baik yang datang berkunjung. Saat ini, Ia jadi punya kesempatan merenung, melihat diri lebih dalam, menyadari kesalahan demi kesalahan yang sebelumnya tak pernah ia sadari. Dan yang terpenting, ego segede gaban yang bercokol dalam dirinya yang senantiasa ia agung-agungkan itu mendadak lumer. Ia tahu, egonya sangat kuat. Tak ada yang mampu membelokkan niatnya jika itu sudah merupakan keputusannya. Atas nama ego, segala keputusan yang telah ia buat, jarang sekali ia langgar. Bahkan ia tak peduli jika kemudian keputusan yang ia buat tersebut, ternyata menyakiti dirinya sendiri. Baginya, tersakiti lebih baik daripada harus menarik apa yang telah ia putuskan. Namun kali ini terasa lain… egonya tiba-tiba mencair. Diraihnya salah satu ponsel yang ia miliki, dicarinya sebuah nomor telepon.
Maha Tahu Allah dengan segala urusan umatNya di dunia.
Dan iapun percaya, Kekasih hatinya tidak menolak kedatangannya. Dia hanya mencarikan waktu yang tepat untuknya.
Salam,
-Wiwik-
*peluk peluk peluk*
Mungkin Allah punya rencana yang lebih besar untukmu, Mbak ^_^
*peluk mamah Wiwik…