Benar, itu memang judul lagu, yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar sewaktu masih gabung di God Bless, dan sekarang dinyanyikan kembali oleh Ari Lasso.
Entah kenapa saya begitu menyukai lagu ini. Lagu yang pertama kali saya dengar saat masih duduk di bangku SD melalui kaset yg sering diputar oleh kakak saya. Saya menyukai semuanya, mulai dari intro, lirik, serta cara Ahmad Albar menyanyikannya membuat lagu tersebut tertancap kuat dalam ingatan. Setiap kali dengar intro lagunya, saya pasti langsung terdiam, menikmati.. dan juga menghayatinya. Selalu. Apalagi saat masuk pada bait kedua, dengan lirik yang teramat saya suka :
Di sana kutemukan bukit yang terbuka
Seribu cemara halus mendesau
Sebatang sungai membelah huma yang cerah
Berdua kita bersama tinggal di dalamnya
Mendengarkan lirik ini, imajinasi saya pasti langsung membentuk sebuah gambaran : rumah mungil di atas bukit yang menghijau penuh bunga, Pohon-Pohon Cemara berdiri berjejer di sepanjang sungai kecil dengan air yang bening plus bebatuan di tengahnya. Tenang, damai, teduh, hijau, asri.
Saat masa kanak-kanak, saya membayangkan berlarian bebas di atas bukit, geluntungan, mencium aroma wangi bunga, mendengarkan gemericik air dan sesekali mainan air di sungai dengan riak ombak kecil tak berbahaya. Sungguh, gambaran surga buat saya…
Seiring dengan pertambahan usia, saya masih tetap menyukainya. Masih suka terdiam kala mendengar lagu itu diputar, menikmatinya, dan selalu saja imajinasi saya bermain kala lirik lagu bait kedua itu terdengar. Gambaran secara umum masih tetap sama seperti gambaran saat kanak-kanak, namun cara menikmatinya tidak lagi sama. Tidak lagi tergambar berlarian, geluntungan, dan mainan air. Gambaran itu sudah sirna, tergantikan dengan suasana yg lebih syahdu merayu : Menikmati udara pagi bersama yang terkasih, duduk-duduk di teras berdua sembari menikmati senja yang tak selalu jingga, tenang, syahdu, penuh kemesraan dan tawa yang menggoda. Tetap surga buat saya…
Entah karena lagu tersebut, entah karena saya memang sudah bosan tinggal di perkotaan yang penuh dengan kegembiraan semu, hingar bingar sepi, dan segala pertikaian yang melelahkan, maka kemudian saya benar-benar terobsesi untuk mewujudkan hunian yang demikian : membeli rumah di daerah yang masih hijau penuh dengan pepohonan besar, jauh dari hingar bingar perkotaan, tenang, dan (harapannya) damai. Semakin pelosok daerahnya dengan penduduk yang masih ramah, semakin saya suka.
Kenapa damai masih menjadi sebuah harapan?
Coba saja lihat sekeliling kita, banyak hal tidak mengenakkan terjadi diakibatkan karena kita tidak bisa berdamai dengan diri sendiri. Sebenarnya hati sudah lelah ingin menyudahi setiap pertikaian, baik pertikaian hati, maupun pertikaian rasa. Tapi atas nama gengsi semua itu tetap dipelihara. Begitulah… tapi selagi masih ada harapan, akan selalu muncul sebuah kemungkinan.
Saya masih terus mencari rumah idaman, masuk dari pelosok desa satu ke desa lainnya. Tidak mempedulikan tatapan heran kakak saya yang tetap setia menemani.
“Kamu tidak terbiasa tinggal di tempat sepi seperti ini. Kamu bakalan bosan. Pikirkan lagi lah…”
Kalimat itu sudah saya dengar entah untuk ke berapa kali, terkadang sempat terpengaruh juga, sempat melipir mencari rumah di daerah perkotaan. Namun gambaran “surga” itu ternyata lebih menggoda. Dan karena itulah saya tetap semangat mencari… Mungkin tidak harus sama persis seperti yang ada di gambaran imajinasi, mungkin saya hanya butuh tempat nan hijau yang relatif tenang, serta jauh dari hingar bingar. Mungkin juga karena saya hanya ingin menikmati kemesraan berdua bersama yang terkasih tanpa diganggu oleh keriuhan semu. Atau mungkin saja saya adalah sang egois yang ingin menikmati kebahagiaan berdua bersama lelakiku sendirian, tak hendak membaginya dengan yang lain.
Ah, biarkan saja semua kemungkinan itu melayang… karena seperti yang saya bilang, kemungkinan adalah buah dari sebuah harapan. Jadi, apa lagi yang harus dirisaukan?
Nampaknya tiada lagi yang diresahkan
Dan juga tak digelisahkan
Kecuali dihayati
Secara syahdu bersama
Selamanya bersama…. selamanya
Would you?
salam,
wiwikwae
ps : gambar hanya pemanis belaka, yang diambil dari favim.com
suka huma diatas bukit yang katanya cuma pemanis saja itu…emang manis ^_^
Little House on the Prairie,
Starring,
Melissa Gilbert,
Michael London,
Ah,
Waktu itu,
Tipi masih item putih,
Masih Mending Tipi Sendiri,
Tipi Tetangga,
Satu Kampung cuman satu saja yang punya,
Belum ada listrik,
Terkagum kagum ada orang bule bisa ngomong bahasa indonesia,
#Itu namanya dubbing maaas…
Percaya tidak, apa yang kau bayangkan itu kini mudah kutemui di sini. Landskap dan tata kota di Australia memungkinkanku untuk menemukan hiruk pikuk kota dengan mudah, tapi hanya 20 menit dari situ, kita bisa menemuka lahan alami yang segar dan mendamaikan.
Tulisan ini asik!
@ DV : tenane dooon?? Aku tak pindah Aussie wae lah nak nu.
@Sriyono : Yep. Little house on the prairie. film bagus itu :)
@ pradna : hooh.. rumahnya dan pemandangannya menawan hati ya
aku hanya akrab yang versi Ari Lasso, mbak wik :)
@jarwadi : versi Ari Lasso juga enak ya. Tapi lebih enak yg versinya God Bless sih..
wah mantep banget tinggal disitu,, kembali ke alam! mangstab!
jadi (makin) pengen balik ke kota kelahiran, dan jadi petani..
disukabumi banyak … :)
Padahal lagu ini jelas liriknya tentang suatu masalah keluarga yang dari luar tampak baik baik saja. Entah kenapa banyak orang yang suka liriknya tapi malah mengira makna nya sebaliknya
Damai tenang jauh dari hiruk pikuk