Dia kembali cerita soal sahabat wanitanya itu dengan mata berbinar-binar. Sesekali dia terkekeh menceritakan kenangan-kenangan lucu mereka. Saya sempat menduga kalau dia pernah menyukai sahabatnya itu. Namun dia mengelak, dengan alasan karena sahabatnya itu Cina. Well, sedikit rasis memang.
Tapi memang begitulah kondisi yang terjadi di negara kita bukan?
Meski sekarang cenderung sudah lebih membaur, namun pengkotakkan hubungan sosial Tionghoa –Jawa masih tetap terasa. Peninggalan politik pecah belah Belanda yang membagi strata sosial di wilayah jajahannya, membuat Warga Tionghoa merasa lebih tinggi derajatnya daripada warga pribumi (Jawa). Hal inilah yang membuat kedua etnis tersebut merasa tidak layak untuk berhubungan lebih intim antara satu dengan yang lainnya.
“Dulu itu, Tionghoa dengan pribumi hidup rukun dan harmonis. Kelenteng Tiao Kak Sie dan Kampung Pecinan itu bukti diterimanya Warga Tionghoa yang masuk ke Cirebon. Bahkan anak buah Laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim Tionghoa, yang aktif melakukan syiar agama Islam di Cirebon.”
Mbah Ciek pernah bercerita seperti itu kepadaku. Lelaki renta, perakanan Tionghoa yang hidup sendirian di salah satu sudut Kota Cirebon. Saya menyukai cerita-ceritanya perihal Warga Tionghoa. Mengenai keberatan warga Tionghoa dengan sebutan “Cina” serta tentang sekat-sekat yang ditinggalkan oleh politik devide et impera tersebut.
Devide et Impera, diciptakan dengan tujuan agar tidak ada persatuan dari kedua etnis (Tionghoa – Jawa) yang diyakini bisa membahayakan kedudukan Belanda saat itu. Dari sinilah mulai diciptakan politik adu domba. Membagi strata sosial dengan menempatkan warga Tionghoa & Arab lebih tinggi derajatnya daripada kaum pribumi. Memberikan tugas-tugas yang lebih ringan ke Tionghoa, sementara tugas yang relatif lebih berat diberikan ke warga pribumi.
Hal-hal semacam inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial dan kebencian antara kedua belah pihak. Bahkan stigma negatif terhadap Warga Tionghoa juga muncul pada masa Pangeran Diponegoro (1825 – 1830) dimana wanita-wanita Tionghoa dianggap sebagai penyebab kekalahan Pasukan Diponegoro dan Sastradilaga (Tertulis dalam Serat Babad Diponegoro Maskumambang XXXIII).
Begitulah…
Tak heran, jika kemudian dia lebih memilih “hanya menjadi sahabat” kepada wanita cina yang tanpa dia sadari telah mempesona hatinya itu.
Atau Monic, kawan saya yang peranakan Tionghoa. Dia lebih memilih sakit hati, meninggalkan lelaki Jawa yang dicintainya ketimbang harus dikucilkan dari keluarga besarnya.
Salah siapa?
Tak perlu dipertanyakan. Menghilangkan pengaruh politik pecah belah Belanda yang sudah tertanam berabad-abad lamanya memang tidak mudah. Ada yang dengan cepat berbaur kembali, ada yang masih perlu proses dalam menghilangkan pengaruh tersebut.
“Cina itu, kalau kaya pasti dituduh kaki tangan dan penjilat pemerintah. Tapi kalau miskin, disukurin. Sukurin lo, Cina kok miskin.”
Begitu suatu kali seorang kawan pernah becanda seperti itu. Tidak bisa dipungkiri, begitulah kenyataan yang terjadi di lapangan. Beberapa kasus besar di negeri ini, pelakunya adalah etnis Tionghoa. Jika pun hal tersebut bisa terjadi, menurut saya sebenarnya bukan karena faktor etnis atau kesukuan. Sistem pemerintahan yang buruk membuat semua bisa melakukan kejahatan seperti yang dilakukan oleh etnis tionghoa seperti (misalnya) Edy Tansil.
Di lingkungan pergaulan saya sendiri, saya banyak dibuat takjub dan terharu akan kecintaan kawan-kawan etnis Tionghoa terhadap Indonesia.
“Aku tidak peduli dibilang Cina. Dimana pun berada, aku selalu bangga memperkenalkan diri sebagai “I’m Indonesian”. Meski dengan wajah oriental yang aku miliki, bisa saja aku mengaku sebagai “Singaporean” atau sebagai warga negara lain.”
“Kenapa tidak mengaku demikian?”
“Aku cinta Indonesia, wie. Meski perlakuannya kadang tak menyenangkan buat kami, tapi aku tetap orang Indonesia. Lahir dan dibesarkan di Indonesia. Bahkan aku tak punya siapapun di negeri nenek moyang kami. Semua keluargaku lahir dan tinggal di Indonesia. Kalaupun kemudian kami memutuskan untuk tinggal di luar negeri, itu hanya untuk alasan keamanan saja. Jika disuruh milih, sebenarnya aku lebih suka tinggal di Indonesia. Semua kenangan ada di sana.”
Kawan yang lain lagi,
“Ah, gue ga pernah peduli dengan panggilan Cina atau pun Tionghoa. Panggilan-panggilan tersebut tidak pernah berarti buat gue. Gue tetap seratus persen Indonesia. Gue cinta negara ini. Pengen hidup, beranak pinak, dan mati di sini. Maka dari itu, gue nggak pernah konsentrasi terhadap perbedaan kultur dan ras tersebut. Konsentrasi gue adalah bagaimana bikin Indonesia bangga punya warga negara beda seperti gue.”
Dan kawan saya ini, melalui kegiatan positifnya telah membantu banyak warga-warga pribumi kelas bawah dalam meningkatkan Usaha Kecil Menengah mereka.
Jika sudah demikian, apa pentingnya sebuah perbedaan?
Bukankah perbedaan hanya akan berhenti sebatas kata-kata jika kita tak pernah menganggapnya ada? Kalaupun ada sebagian dari kita yang masih mengkotak-kotakkan diri atas dasar kesukuan, kemungkinan karena warisan devide et impera yang ditinggalkan oleh Belanda masih sangat kuat tertanam dalam dirinya, setelah berabad-abad lamanya itu…
Jalanan di Kota Cirebon masih terlihat lengang di pagi hari. Para pedagang makanan masih terlihat sibuk menata dagangan mereka. Saya terus berjalan, menyusuri trotoar, menghirup udara segar. Udara yang sama, yang dihirup oleh Mbah Ciek, Monic, dan kawan-kawan etnis Tionghoa lainnya. Di kota ini, saya banyak belajar tentang arti perbedaan yang tak bermakna “beda”.
Dirgahayu ke 66 Indonesiaku.
Salam,
-wiwikwae-
*Catatan sejarah diambil dari berbagai macam sumber *
Ulasannya panjang dan lengkap…….jaman demo reformasi dulu banyak kok teman-teman Tionghoa….
Kalau menyimak posting diatas, rentang perbedaan itu bisa berlapis : warga negara, tetangga, sahabat, cinta/keluarga. Maksudnya gini, mungkin sebagian orang menerima warga negara dari berbagai etnis, tapi tidak untuk jadi tetangga. Bersedia punya tetangga yang beda etnis, tapi tidak untuk jadi sahabat. Bersedia punya sahabat yang berbeda etnis, tapi tidak untuk jadi pasangan cinta/keluarga.
Dan ada keragaman derajat penerimaannya………
Aku pribadi masih pada tataran sahabat. Kalau sampai level keluarga, wah bisa ngamuk2 sekeluarga. Itu pengalaman yang dialami oleh bapakku juga dulu.
@bukik : bener, mas. Sampai sebegitu dalam dan kuatnya efek dari devide et impera pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Saya pribadi setuju dengan level2 yang disampaikan oleh mas bukik. Memang seperti itulah adanya kondisi hubungan antara etnis Tionghoa-Jawa di negeri kita tercinta ini.
Semoga semakin menuju ke perubahan yang lebih baik lagi..
niceshare
:loveindonesia:
Bicara soal Cina, China, Tionghoa. Ada beberapa temenku yg menyebut dirinya “Cina”.
Misal; Angki (A) dan Temen Tionghoa (TT)
A : Eh penjual mie yg enak itu yg mana?
TT: Itu lo di depan JMP warung kuning, yang jual “Cina”
kasus lain
TT: eh Ki, kemarin lu motret nikah di gereja mana?
A : itu di GKJW Ngagel
TT: Pendetanya siapa? “Cina” bukan?
Dan banyak lagi contoh yang temen saya lainnya yang bikin saya bingung ketika dia menyebut “Cina” padahal dia sendiri Tionghoa
:*
Jero, Mah! Harusnya para pemimpin baca tulisan yang kayak gini… Hidup Indonesa!!!
Indahnya keberagaman jangan hanya menjadi lip service saat perebutan kekuasaan demi menuai simpati, tapi jadikan ia sebuah sikap akan identitas diri sebagai bangsa yg majemuk. Menurut saya, peran terbesar terhadap pengkotak2an etnis dan kesukuan tdk terlepas dari mental para pendidik yg terkontaminasi doktrin kolonial. Tidak perlu terlalu jauh menilai hubungan pribumi dan warga keturunan. Lihat saja sekeliling kita yang masih saja mempermasalahkan karakter kesukuan, baik dalam hal hubungan kerja maupun bermasyarakat. Kita masih dengan mudah terpancing konflik jika menyangkut “harga diri” suku.saya berharap, kita semua menyadari ini dengan menanamkan jiwa ketulusan dalam keberagaman dalam diri dan anak cucu kita. Semoga bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Sekian. Terima kasih.
Aaaakkk…
Ini ada yang mirip pengalaman pribadikuuuu…
*JLEB*
Anyway,, kalo jadi peranakan dari orangtua yang Cina & Jawa, lebih ribet lagi.. Ga masuk ke mana2..
:(
@billy : waah.. Menarik tuh. Tentang bagaimana rasanya jadi warga “campuran”. Kapan2 share ya..
Bahasannya menarik sekali, bener-bener pengalaman sehari-hari. Pernah juga pacaran, bagitu mau diseriusin kok ndak boleh sama keluarganya. ha ha ha…
Mungkin bagian dari hidup ya, padahal sesama tapi nempel sebagai stereotip ndak bisa hilang, dan ini plus dan minus kan?
Sekali lagi bagus sharingnya Mbak. Matur nuwun. Tuhan memberkati.
mampir ahhh setelah lama nggak ke sini,
klo negeri ini bersatu sebenarnya kita bisa melibas malaysia, atau singapore, karena nggak punya spirit kebersamaan kita lamaaa dijajah, negeri kecil seperti belanda, kini, secara ekonomi, kita dijajah oleh negeri sekecil singapore, ter la lu…
(untuk yg nomer 4) setiap bgaian dari suatu konstruksi benda mempunyai peran penting. Bagian kayu dari pensil (bagian luar) sangat penting untuk menjaga kekokohan arang di dalamnya, bila kualitas kayu tak baik maka arang di dalam bisa rapuh dan mudah patah saat di raut. Bila arang saja tanpa bungkus kayu, maka memegangnya akan sangat tidak nyaman karena seluruh tangan bisa tercoreng. Jadi menurutku, tidak ada istilah bgaian terpenting’ karena semuanya penting. Walau ada hal yg lebih penting lagi, yaitu bagaimana, untuk apa pensil itu digunakan.