“Halo, Saya Aisyah, dan ini pacar saya Alfonsus. Dilihat dari nama kami, perbedaan itu sudah terlihat. Iya, kami beda agama. Sesuatu yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah bakal calon masalah. Tapi tidak bagi kami. Rumah ibadah kami memang beda, ritual keagamaan yang kami jalankan pun tak sama. Namun kami tak pernah merasakan itu sebagai sebuah masalah. Terlepas apakah yang kami lakukan itu benar atau tidak, kami hanya ingin saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai yang kami yakini. Itu saja.”
“Hello, Nama saya Mey Lan. Keturunan Etnis Thionghoa. Warga Negara Indonesia Asli. Meski mata saya tidak selebar seperti kebanyakan warga negara Indonesia lainnya, namun saya tidak pernah merasa bahwa saya berbeda dengan mereka. Itulah sebabnya, saya pun merasa punya kewajiban yang sama untuk membuat Indonesia bangga. Dan medali emas hasil menang lomba science tingkat internasional pun menjadi bukti kecintaan saya terhadap Indonesia.”
“Saya Glen, seorang gay, orientasi seksual yang bagi sebagian orang dijadikan sebagai tirai pemisah untuk membedakan antara yang normal dan tidak. Namun demikian saya tak pernah mempermasalahkannya. Saya tak pernah menggugat kenapa harus dianggap tidak normal, meski seabrek prestasi bisa saya raih dengan “ketidaknormalan” tersebut.”
Lalu, dimana letak masalahnya???
Jika mereka yang berada pada posisi “dipersalahkan” saja tidak pernah mempermasalahkan kondisi tersebut, kenapa kita yang berada pada posisi “baik-baik saja” selalu mencari masalah buat mereka?
Hanya karena mata kita lebih lebar dari Mey Lan, maka kita layak menganggapnya sebagai biang masalah. Hanya karena orientasi seksual kita normal seperti kebanyakan orang, maka kita layak menghakimi Glen sebagai sampah masyarakat. Dan hanya karena hubungan dg kekasih sudah seperti yang seharusnya, maka kita pun berhak mengatakan hubungan Aisyah-Alfonsus adalah sebuah dosa besar.
Dan setelah hak-hak sebagai bagian dari kaum mayoritas itu, kitapun lantas merasa benar untuk memerangi kaum minoritas.
Menyedihkan….
Jika dalam hidup, kita selalu memakai kacamata perbedaan untuk melihat sebuah keragaman. Tidakkah kita menyadari bahwa dengan aneka macam bentuk suku bangsa dan agama serta apapun itu perbedaan yang ada, membuat hidup kita jadi lebih beragam?
Kita bisa saja tertawa lucu kala melihat rambut kriwil-kriwil orang Papua yang tidak sama bentuknya dengan rambut kita tanpa harus menganggapnya sebagai sesuatu yang beda. Atau bisa saja kita tertegun di depan jemaat gereja yang sedang melakukan ritual keagamaan dimana ritual tersebut tak sama seperti yang kita lakukan, tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang salah.
Secara filosofis, kita dapat mempercayai apa saja selama tidak mengklaimnya sebagai kebenaran. Dan secara moral, kita dapat mempraktekkan apa saja selama tidak mengklaimnya sebagai cara yang lebih baik.
Kenapa?
Seperti yang pernah saya tulis di sini, bahwa sebagai manusia, kita selalu ingin mencoba menyenangkan Sang Pencipta dengan cara-cara kita sendiri. Kita lupa, ada kesenjangan disini.
Bukan kesenjangan moral, tapi kesenjangan kapasitas. Lebih mudah bagi kita untuk berpikir tentang waktu daripada berpikir tentang kekekalan. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa menggambarkan perasaan Sang Pencipta terkait dengan polah kita, jika kita sendiri terikat dengan ketidaksempurnaan dan waktu? Bagaimana mungkin kita dapat memahami alam supernatural jika kita begitu dibatasi oleh alam natural?
Jika jawabannya tidak tahu, maka kenapa tidak kita kerjakan yang kita tahu saja?
Jika berpikir tentang perbedaan membuat kita ingin mengusik dan terusik, kenapa tidak berpikir tentang keragaman yang membuat kita merasa kaya dan unik?
Jika berpikir tentang perbedaan membuat kita ingin memerangi sesuatu, kenapa tidak berpikir tentang keragaman yang membuat kita menjadi satu?
Jika kunci dari semua pertikaian adalah perbedaan, kenapa tidak berpikir tentang keragamanan yang mendamaikan?
Dan, jika kita berpikir bahwa perbedaan akan menimbulkan perpecahan, maka rayakanlah keragaman yang ada.
Iya, kita.
salam,
-wiwikwae-
kredit foto : Carause_bizzare (Thanks untuk ijinnya menggunakan foto ini).
mari bicara dan melihat dengan #satucinta
*halah*
:D
hmm… jadi pengen beli buku #satucinta itu, chic…
Kalimat pembukanya pengalaman pribadi ya mbak?
:D
Intinya, bila kita dapat berbesar hati menerima bahwasanya kita memang beragam dan tidak picik menyikapi perbedaan, maka akan damai berdampingan…
–Jika mereka yang berada pada posisi “dipersalahkan” saja tidak pernah mempermasalahkan kondisi tersebut, kenapa kita yang berada pada posisi “baik-baik saja” selalu mencari masalah buat mereka?–
Biar hal tersebut menjadi urusan mereka dengan Sang Khalik, toh agama adalah relasi private individu hamba dengan Tuhannya…Kita tidak berhak menjudge
Ciayooo Bhinneka Tunggal Ika, Wik
hmmm, kembali teringat cerita lalu tentang seorang teman..
dan aku pernah punya pacar seorang katholik.
dia sangat menghormatiku sbg muslim.
kita putus bukan krn beda agama, tp ada hal lain.
*jadi curhat ik*
berbeda itu menyebabkan 2 hal yang berbeda, persatuan atau perpecahan, bagaimana kita mengelola perbedaan menjadi sesuatu yang mengikat bukan yang merenggangkan. :D
Bener itu mbak. Masalahnya cuman pada soal penggunaan kata-kata yang menjadikan makna dan efek jadi berbeda.
perbedaan menghasilkan 1 makhluk manis dan lucu bernama Kelsa :)
Oh, mas mikow… so sweet….
*terharu*
nikah itu ga masalah beda agama, yg penting beda kelamin :P
bayangkan ya jika dunia ini hanya terdiri dari satu model manusia saja, misalnya saya. Dimana-mana saya akan bertemu dengan saya-saya yang lain. Apa ya nggak stress lama-lama berasa ada cermin dimana-mana?
Beda itu sebenernya seru lho, asalkan kita dengan ikhlas menerima perbedaan itu sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar.. Lha kalau nggak beda, untuk apa kita menikah ya? :mrgreen:
@hedi : wakakakak…bener itu, yang penting beda kelamin. Hari gini yang seperti itu sudah basi untuk depermasalahkan. Saya juga baik-baik saja, tidak ada masalah kok.
@devi : ho oh.. tentunya akan sangat membosankan ya jika hanya ada satu model orang :)) *ga baca komen yang paragraf terakhir*
@hedi & deniar : *memantau*
This is understandable that cash makes people autonomous. But how to act when somebody doesn’t have cash? The only one way is to try to get the loans or collateral loan.
Colossal topic close to university! Very valuable to be honest! If you’re occupy, feel free to contact our essay writing service that can assist you with first-class term paper. Cheers!
To get know information just about this good topic, the students have to buy essays at the custom writing service.