Pelajaran Bahasa Indonesia jadi momok siswa SMA/MA/SMK. 733 siswa gagal UN krn Bahasa Indonesia. IRONISSSS…!!!
Begitu isi tweet @sofyanr yang saya terima melalui akun @SamTUG. Saya terkesiap melihat angka 733 tersebut. Terlepas apakah data tersebut benar atau tidak, tapi tetap saja membuat saya trenyuh. Apa yang membuat para pelajar, para penerus bangsa ini, kesulitan memahami bahasa mereka sendiri? Kesalahan ini terletak pada kurikulum tersebut atau pada kapasitas si pelajar dalam menghadapi gelombang budaya yang terus bergulung menghampiri mereka?
“Tak usah malu, apalagi takut salah. Wajar jika ada kesalahan dalam percakapan Bahasa Inggris, karena itu kan bukan bahasa ibu…”
Dulu guru Bahasa Inggris saya pernah berkata demikian. Benar, tak usah malu jika kita tak mahir bercakap-cakap menggunakan bahasa asing yang bukan menjadi bahasa percakapan sehari-hari kita. Toh akan banyak permakluman yang akan diberikan terkait dengan kesalahan tersebut.
Namun kini, di era globalisasi, era postmordenisasi, semuanya berbalik. Kawan-kawan saya justru akan berlomba untuk langsung mengkoreksi jika terjadi salah grammar, baik dalam ucapan maupun tulisan yang menggunakan Bahasa Inggris. Tapi tidak sebaliknya dengan Bahasa Indonesia.
Kenapa?
Sepertinya saat ini kita sedang masuk dalam fase sejarah kebudayaan dimana dunia Timur secara diam-diam sedang berusaha untuk meniru budaya Barat. Demikian pula dengan Budaya Barat yang seakan-akan lebih mirip dengan Budaya Timur. Dan faktor inilah yang mungkin jadi salah satu pemicu pergeseran kepentingan dalam kebudayaan itu sendiri. Lebih penting untuk mahir dan menguasai budaya luar, dibanding menguasai budaya sendiri.
SUDAH SEHARUSNYA, jika kita menguasai kebudayaan sendiri. Dan SUNGGUH MEMBANGGAKAN jika kita bisa menguasai kebudayaan asing (dalam arti yang positif). Faktor pemikiran seperti ini juga menjadi salah satu alasan kenapa kita kemudian mengabaikan budaya sendiri.
Dan di era yang semakin global, era dimana komunikasi berjalan dengan sangat cepat, semua bangsa seolah-olah ditarik ke dalam satu ruang, bercampur, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk saling belajar.
Kita tak bisa menghindari gelombang kebudayaan yang bergulung-gulung menghampiri pantai kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah memilih salah satu gelombang tersebut untuk dapat membawa kita ke arah seperti yang kita mau. Tidak ada yang benar ataupun salah dalam pemilihan gelombang tersebut, yang ada hanyalah kesiapan mental kita saat menerima hempasannya.
Pertanyaan selanjutnya, sudahkah bangsa ini mempersiapkan mental para generasi muda, generasi penerus bangsa, untuk menghadapi pilihan gelombang kebudayaan yang terus bergulung tersebut? Akankah sang penerus bangsa kelak memilih gelombang yang akan menghantarkan mereka berselancar menjauh, atau malah memberikan hiasan tersendiri dengan deburan ombaknya yang menghantam karang pantai ini?
Jawabannya hanyalah : Seberapa peduli kita dengan negeri ini.
Salam,
Guru bahasa inggrisnya waktu apa mba? SMP/SMA?
*kangen mam lilik*
coba kalo UN nya bahasa alay…
DiJ4min lUlu5 5Emu4
:-p
point nya adalah,
bahasa indonesia saat ini bukan menjadi bagian dari keseharian kita dan sayangnya lingkungan-pun tidak mendukung mereka untuk menggunakan bahasa indonesia.
begichuu..
hahahaha inget pas bagi raport waktu kelas 2 SMA kapan tau. Si Mama bingung demi melihat nilai yang tertera di raport saya. Gimana ngga bingung, Bahasa Inggris 9, Bahasa Jerman 8, Bahasa Indonesia 6. *LOL*
komentar Mama cuma satu : “kamu itu orang apa sih?”
=))
Bahasa Indonesia itu sulit, mungkin kadarnya sama dgn matematika atau fisika. Sebagai alat bicara, sih enak, wong itu bahasa negara. Tapi pelajarannya sendiri kompleks. Ada lema, majas, peribahasa, belum lagi kalo dicampur cabang2 kesusastraan. Mungkin silabusnya mesti disederhanakan. IMHO.
hihii, hampir sama kaya jeng Chic, Bahasa Inggris 9, Bahasa Jerman 8, tapi bahasa Indonesiaku 8 ;). Kesimpulannya?
aku orang Republik..
Togo