Axel Michaels, seorang Indolog, menulis dalam bukunya tentang Hinduisme bahwa dalam konteks India kata “sekte tidak menunjukkan adanya perpecahan atau komunitas yang terasingkan, melainkan lebih pada suatu tradisi yang terorganisir, yang biasanya didirikan oleh si pendiri yang melakukan praktik-praktik asketik.” Dan menurut Michaels, “Sekte-sekte India tidak memusatkan perhatian pada ajaran sesat, karena tidak adanya pusat atau pusat yang menuntut membuat hal ini tidak mungkin. Sebaliknya, fokusnya adalah pada para penganut dan pengikutnya. (dikutip dari Wikipedia)
Di era New Wave, kata sekte disini diartikan sebagai sebuah komunitas yang sengaja dibentuk untuk penciptaan sebuah “cult brand”. Dimana para pengikutnya yang terjaring melalui jejaring social (seperti microblog, web komunitas, portal online, dll) akan dijadikan sebagai sectator atau pengikut setia dari suatu merek.
Social media, dapat melakukan pendekatan secara horizontal, yakni menghubungkan satu pelanggan dengan pelanggan lainnya. Bahkan lebih dari itu. Social media dapat mengubah istilah pelanggan menjadi anggota, dimana tentu saja hubungan yang tercipta akan semakin erat, sehingga cult brand sebagai sebuah pencapaian tertinggi suatu merek dapat dengan mudah tercapai.
Dalam tulisan Hermawan Kertajaya yang berjudul Cerita Nike Sebagai Konektor Eksperiensial menyebutkan bahwa Nike telah menggeser level hubungan-dari mass menjadi lebih kearah relationship marketing, melalui portal online nya. Nike telah mengubah kedudukan pelanggannya menjadi anggota dari komunitas yang mereka ciptakan.
Seperti yang kita ketahui, stereotipe antara pelanggan dan anggota sangatlah berbeda. Pelanggan cenderung hidup sendiri-sendiri, sementara anggota cenderung melakukan interaksi dan saling membantu. Jika sebuah produk atau perusahaan dapat melakukan perubahan posisi seperti yang dilakukan Nike, maka keuntungan yang didapat adalah bermunculannya para advocator customer. Orang-orang yang melakukan pembelaan terhadap suatu produk secara mati-matian.
Dan kemudian dalam pencapaian yang lebih tinggi lagi, komunitas tersebut akan dapat digiring ke dalam suatu sekte 2.0, dimana belief akan mengikat para pemujanya dengan menjadikan produk tersebut sebagai “Roh” dalam sekte yang dimaksud.
Pencapain yang tentunya sangat memuaskan bagi para pemegang merek. Dan Bloggers @ MarkPlus Conference 2010, jika didekati dengan pendekatan yang unik sesuai karakteristik mereka, dapat dijadikan sectator tersendiri dalam sekte 2.0 selanjutnya.
Selamat bergabung!
Hahahahaha..! Istilahnya keren mbak!
Ada yang menyebutnya sebagai “sekte” meski aku pribadi lebih suka kalau menyebutnya “tribe.” Para tribe ini sangat loyal dan bisa jadi fanatik terhadap suatu brand. Mereka yang menjadi target pertama kali brand saat misalnya, mengeluarkan suatu produk baru. Mereka yang menjadi corong komunikasi awal brand untuk membangun buzz-nya. Lihat saja betapa banyaknya tribe di Kaskus. Mereka sangat loyal terhadap Kaskus, dan mau melakukan segalanya demi Kaskus, memakai nama Kaskus, karena mereka sudah sangat cinta akan Kaskus.
Sosial media memang lebih membantu untuk penciptaan cult brand, dimana dulu akan lebih sulit untuk dicapai.
Keren!
hehehee mba wiwik mampir ya, hehehe cuma baca doang hehehe
hehehehe hau mba wiwik, cuma mampir ya hehehehe
Lupa nambahin custom field Image untuk artikel ini kayanya mbak :P Ndak keliatan gambarnya di headline :)
akhirnya menjadi semacam dogma kah? :D
wuih ternyata ikutan juga.. see you there and congrats karena semuanya menang! huaha :lol:
wuihhhh mbak wik istilahnya mantap, new wave jadi sekte
hula hula :lol:
g dateng beneran ya..??
saya suka istilahnya. SEKTE 2.0
Sangat provokatif he he…
nice artikel mbak..
saya suka artikelnya
salam kenal… artikel yang bagus…
kunjungi juga blog saya di ichwana.blogdetik.com dan di blog.unand.ac.id/ichwana
website kumpulan jurnal : http://repository.unand.ac.id
bagaimana cara mendapatkan uang gratis melalui internet ? disini caranya