Seorang sahabat laki-laki untuk kesekian kalinya datang ke tempat saya dan mulai mengeluhkan perkawinannya yang penuh dengan “huru-hara”.
“Semalam aku “perang” lagi. Duh, capek wie… “
Dilain waktu dia pernah berkata,
“Sepertinya aku sudah mulai depresi, stress beraat! Pekerjaan di kantor dan tingkah istri yang selalu mengajak bertengkar benar-benar telah membuat otakku lelah untuk bekerja. Aku hampir gila, dan tak tahu lagi mesti gimana.”
Di waktu yang lain lagi, dimana kesabaran saya untuk mendengar keluhan-keluhan senada telah pada titik jenuh, saya mulai sedikit keras menyentilnya :
Sahabat : Pertengkaran dengan istriku akhirnya seperti sebuah keharusan dalam ritme rumah tangga kami. Aku lelah wie…
Saya : Kenapa tidak mencoba untuk berpisah dengan istrimu saja? Mungkin itu jalan terbaik buat kalian berdua. Perceraian adalah hal yang dibenci Allah, tapi Allah lebih benci dengan kemudharatan. Dan menurutku, didasarkan oleh cerita-ceritamu, kondisi perkawinanmu sudah masuk ke dalam fase mudharat itu. Well, think about it wisely.”
Sahabat : Sempat terbesit keinginan untuk meninggalkannya, namun rasa “pekewuh” dengan keluarga besar ini telah menahan langkahku untuk tetap terpenjara dalam kondisi yang melelahkan jiwaku.
Saya : Rasa pekewuh yang kamu pelihara itu bukankah seperti memelihara bom waktu? Yang suatu saat bisa meledak dan menghancurkan semuanya, termasuk keluarga besarmu. Pesanku, jadilah manusia yang mempunyai integritas diri.
Kawan saya diatas bukan satu-satunya orang yang karena alasan moral -yang merupakan kesepakatan sosial, akhirnya mengabaikan integritas dirinya. Sartre, seorang nihilis dan penulis cemerlang sepanjang masa pernah berkata bahwa manusia bebas “secara radikal” karena dia selalu punya pilihan untuk menerima atau menolak. Dan dengan integritas diri yang dimiliki, manusia dengan sadar dapat memilh tanpa tekanan apapun dari luar, kewajiban, atau keharusan (apapun itu jenisnya) untuk bertindak sebagaimana mereka ingin lakukan.
Namun perlu diketahui, jika kebebasan radikal hanya dimengerti sebagai sebuah kebebasan untuk melakukan segala hal yang kita pilih tanpa ada pertimbangan tentang sebuah konsekuensi dari pilihan tersebut, maka definisi tersebut (mungkin) ideal namun tidak realistis.
Untuk sebagian orang, saya dikategorikan sebagai seorang pembosan, kutu loncat, hanya karena seringnya melihat saya berpindah-pindah kerja dalam waktu yang relatif singkat. Beberapa diantaranya bahkan mengkaitkan kondisi tersebut dengan shio kelinci yang menaungi saya.
Saya hanya tertawa jika mendengar julukan tersebut. Saya jadi teringat sebuah hotel tempat menampung aktifitas bekerja saya hingga lebih dari 5 tahun lamanya. 5 tahun??? Beberapa diantara mereka takjub mendengar bahwa saya pernah bekerja pada satu tempat dalam kurun waktu selama itu. Bukan karena alasan gaji besar yang membuat saya bertahan disana –sebuah perusahaan lain yang pernah menggaji saya lebih besar dari hotel tersebut tetap tidak bisa mengekang kaki ini untuk beranjak pergi, banyaknya nilai pelengkap kehidupan yang saya dapatkan kala bekerja pada instansi tersebutlah yang membuat saya tetap bertahan. Selain mendapatkan gaji , fasilitas, dan juga posisi yang menggiurkan, saya juga mendapatkan kebebasan berpendapat, sebuah pengakuan atas hasil kerja yang mengagumkan, penghormatan, dan juga cinta sebagai pelengkap kehidupan pribadi saya. Untuk itu semua, saya kemudian mengabaikan load kerja dan pressure yang tak jarang diluar batas kemampuan bahkan yang pernah saya terima ditempat-tempat kerja setelahnya.
Ditempat lain? Beberapa diantaranya, tidak cukup berbesar hati untuk menerima sebuah perbedaan pendapat, bahkan yang lebih parah lagi ada yang kemudian mempersalahkan hasil kerja saya hanya karena saya tidak sependapat dengan cara kerjanya dan mengabaikan hasil kerja mengagumkan yang pernah saya berikan. Haruskah yang seperti ini saya pertahankan?
Dan untuk memilih atas semua tindakan tersebut diatas, saya mempercayakannya kepada naluri.
Naluri akan mendorong kita memilih tindakan-tindakan yang memberikan kita kebebasan, buka segala tindakan yang akan memperbudak kita. Jika kita bertindak melawan kebebasan itu, hal ini dikarenakan kita tidak memahami dengan jelas sifat dari tindakan-tindakan kita, atau karena tindakan-tindakan salah sebelumnya telah menjerat kita kedalam kebiasaan-kebiasaan yang merugikan.
Dan sepanjang pegetahuan saya, naluri tidak pernah mengajak kita kearah yang menyesatkan. Hanya ketakutan kita akan sebuah kesepatakan popular yang dinamakan norma, moral dan sebagainya itulah yang kemudian membelenggu langkah kita akan sebuah kebenaran yang hakiki, yaitu kata hati…
Sudahkah anda mendengarkan apa yang dikatakan hati anda hari ini?
salam,
Peringatan : Tulisan ini tidak bisa dipahami hanya didasarkan pada apa yg tertulis, namun memerlukan pemahaman yang lebih dalam lagi pada setiap katanya.
*gambar diambil disini
aduh disclaimernya bikin serem :P
pantes aku rak ngerti… ya wess lah..
nyumbang komen wae…
*masih menanti “w”*
perang sampai capek? itu maksudnya perang nganu!!!
semakin hot “perang”nya berarti rumah tangganya semakin harmonis!!
dasar amatir, gak mudengan.
beginilah jadinya kalo orang yang belum nikah kok ngasih nasehat pernikahan.
siap2 bikin surat resign
Alhamdulillah..
setidaknya tadi udah bilang sesuatu yang selama ini mengganjal.
Walaupun bikin orang itu sakit hati..
tapi hati ini udah lega…
*eh.. kok jadi serius ginih?*
*liat koment di atasku*
jadi.. yg “perang” sampe capek itu kamu yog ?
Wah aku baca separo dulu Jeng…dari pada ikut2 an mumet he..
Yg jelas kalau salah satu pihak (istri/suamin) ada yg merasa terdzalimi cerai itu boleh *efek nonton KCB 2 he…
Wie, jadi kamu mo cerai? Kapan nikahnya? *bingung*
Dalem mbak…
Jadi pengen berpikir ulang lagi.
ikutan nggak ngerti ini postingan apa… *ngantuk*
saya suka kalimat ini… so true…
Saya : Kenapa tidak mencoba untuk berpisah dengan istrimu saja? Mungkin itu jalan terbaik buat kalian berdua. Perceraian adalah hal yang dibenci Allah, tapi Allah lebih benci dengan kemudharatan. Dan menurutku, didasarkan oleh cerita-ceritamu, kondisi perkawinanmu sudah masuk ke dalam fase mudharat itu. Well, think about it wisely.”
mbak wie buka lapak konsultan pernikahan ya????
*tambah mumet kok bisa ya??*
Kliyengan, moco ping seket buntet gak mudeng2 :shock:
nikah ya nikah wae
cerai ya cerai wae
wis ngono wae..
Mbak, saya mbah-mbah di ngerumpi yang bolak balik disuruh baca ulang artikel sampean. Ternyata gudang inspirasi di sini banyak barang berharganya. Salam kenal, ndak usah takut saya sudah kapok dan ndak bakal nanya-nanya lagi di sini :)
pasti ada jalan yg lebih baik lagi daripada harus bercerai
Tulisannya keren mbak. Jadi membuat wawasan berpikir saya.
Terima kasih.
saya juga selalu percaya naluri. karena norma itu sifatnya sosial (sesuatu yg disepakati byk orang walaupun blm tentu benar), jadi saya memilih ngelakuin apa yg saya percaya.
“not straight is not always bent.” – kahlil gibran
salam kenal yah! :D